MAKALAH
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Di Susun oleh :
Hidayatur Rohman
Pembimbing
Drs.H.sumiaji Asy’ari, MM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TARUNA
SURABAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan terhadap kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah “Islam dan Ilmu Pengetahuan” tanpa ada halangan yang
berarti dan selesai tepat pada waktunya.
Dalam Penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada Drs.H.sumiaji Asy’ari, MM selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama
Islam, serta keluarga dan kerabat penulis yang telah membantu dan memberi
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis berharap kritik dan saran semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
dan seluruh pembaca pada umumnya.
Surabaya, 5 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
A. Pendahuluan
B. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam
C. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu dalam Islam
D. Kesimpulan
Kata Penutup
Daftar Pustaka
A.
Pendahuluan
Kedudukan
akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain, karena akal dan
wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan
perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun
harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat
mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda
rasulullah SAW. Tidak hanaya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi
ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini,
begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang sangat
luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun
dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhitan
sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik ahir, begitu pula dengan
wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan
semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani anatara
wahyu dana akal harus slalu mengingat bahwa semua itu karna allah semata. Dan
tidak akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah kemusyrikan terhadap allah karena kesombongannya.
B. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam
1.
Wahyu
a)
Pengertian Wahyu
Kata wahyu
berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api,
dan kecepatan.[1]
Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki
dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering disebut
sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah
terhada Nabi-Nabi-NYA ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada
Nabi.[2]
Menurut
Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun
tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun
lainya.
[1] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam,
UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
[2] Nasution,
Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI
Press, Jakarta,cet.V,1986.
Wahyu berfungsi memberi
informasi bagi manusia. Yang dimaksut memberi informasi disini yaitu wahyu
memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan
akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah
dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak
langsung adalah senjata yang diberikan allah kepada nabi-nabiNYA untuk
melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai
keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu
Allah SWT.
Memang
sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak
mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki
kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
1)
Wahyu ada
karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2)
Wahyu
lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3)
Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia.
4)
Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5)
Wahyu
turun melalui para ucapan nabi-nabi.
B. Akal
a) Pengertian Akal
Kata akal
sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda.[3]
Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون)
24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki
fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu
yang kemampuanya sangat luas.
Dalam
pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal,
menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan
masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan
berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya
yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan
manusia dari mahluk lain.
b) Fungsi Akal
Akal
banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran
dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi
ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai
hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal,
karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang
mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan
meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut.
Dan Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah
yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
c) Kekuatan Akal
Tak
seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti
contoh:
1)
Mengetahui
tuhan dan sifat-sifatnya.
2)
Mengetahui
adanya hidup akhirat.
3)
Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat
baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
4)
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal tuhan.
5)
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
6)
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
3. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam
Kedudukan
antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat
sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh
dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan
akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan
wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal
tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena
sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun
kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang
mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan
Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi
yang sangat mulia. Meski demikian bukan berartiakal diberi kebebasan tanpa
batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya.
Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalucocok dengan syariat islam
dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber
dari Allah SWT, pribadi NabiMuhammad
SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting
dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan
perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan
waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum ataukhusus.Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang
bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap,
tidak terpisah-pisah.Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa
al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang
waktu yang cukup panjang.[4]
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal,
karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah
sebuah anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang
mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah
ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti
pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk
suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu
perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu
perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain.
Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata
wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia
di akhirat.
Karena
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks,
yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan
manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan,
tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang
baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran islam memiliki
pendapat sendiri-sendiri antra lain:[5]
1)
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut
pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan
mengetahui empat konsep tersebut.
2)
Sementara itu aliran Maturidiyah
Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga
kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan
mengetahui ketiga hal tersebut.
3)
Sebaliknya aliran Asy’ariyah,
sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya
mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima
kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan
menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
4)
Sementara itu aliran maturidiah
Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat
bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang
baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni
kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik
serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun
ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah,
dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah,
surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku
ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum
sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat
pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka
dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam
tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka
memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat
al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
[5] Atang, Metodologi Study Islam, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Dalam menangani hal tersebut banyak
beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara
wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir
yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau
yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam
yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam karena
kurang mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution
agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan
dan memahami agama tersebut.
C. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu dalam
Islam
Sejalan
dengan perkembangan waktu, ‘ulum dibagi dan diklasifikasikan ke dalam
isi dan bentuk. Salah satu upaya yang paling awal untuk mengklasifikasikan ‘ulum
dilakukan oleh al-Kindī, Abū Yūsuf ibn
Ishaq (801-873 M.) atau sekitar abad ketiga Hijriyah. Akan tetapi, klasifikasi
yang banyak diterima mengenai ‘ulum dibuat oleh Ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarkhān Abū Nashr al-Fārābī (wafat di Damaskus pada tahun 339
H/950 M), yang berasal dari Fārāb di kawasan Transoxania. Klasifikasinya
mengenai ‘ulum mencakup:
(a) pengetahuan bahasa
(b) pengetahuan logika
(c) pengetahuan matematik; aritmatik, geometri, optik,
atrologi, “gaya” (berat), dan mekanik
(d) (1)
pengetahuan teologis dan alamiah serta (d) (2) pengetahuan “teologi”, yang
mencakup ilmu politik, fiqh (ilmu hukum), dan kalām (teologi
skolastik).
Dalam De Ortu Scientarium, klasifikasi yang
dimaksudkan oleh al-Fārābī, yang hanya terbit dalam bahasa Latin, ‘ulum
(pengetahuan) diklasifikasikan dengan cara yang berbeda. Dalam hubungan ini:
1) Pengetahuan alam yang berkaitan
dengan hal-hal dan sebab sebab terjadinya perubahan benda.
Pengetahuan tentang gerak dan diam ini lebih lanjut dibagi ke dalam:
a) astrologi yuridis (de judiciis);
b) kedokteran;
c) kewahyuan
(de-nigromantia);
d) (penafsiran
atas) visi (de imaginibus);
e) agrikultur;
f) navigasi;
g) alchemy
(“pengetahuan untuk mengubah sesuatu ke dalam jenis-jenis
baru”);
h) optik
(de speculis).
2) a) pengetahuan mengenai 4 unsur
pembentuk alam semesta, yaitu: api, udara, air, dan tanah dan 4 sifat
yang menyertai masing-masing unsur
panas, dingin, cair, dan kering.
b) (1) ‘ulum al-riyādiyah (pengetahuan matematis mengenai angka-angka)
(2) mensuration
(3) astronomi
Dalam klasifikasi dan teoripengetahuan, al-Fārābī
menekankan bahwa kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran filsafat (akal) memiliki
obyek yang sama, tetapi berbeda dalam bentuknya. Gagasan tentang pembagian
pengetahuan ini cukup berpengaruh dan al-Fārābī merupakan pemikir pertama yang
menghadirkan pemikiran filsafat yang kemudian diikuti oleh para ‘ulamā` dan
hukamā`.
2. Ibn Sīnā
Abū ‘Alī al-Husayn ibn Sīnā (Avicenna dalam bahasa Latin
atau Aven Sina dalam bahasa Ibrani) lahir pada tahun 980 M dan wafat 428 H/1037
M. Di kalangan orang Arab, ia dikenal sebagai al-syaikh al-ra`īs (maharaja
dalam pengetahuan) atau mu’allim al-tsānī (guru kedua setelah
Aristoteles). Ia dilahirkan dekat Bukhara, tinggal kawasan timur dunia muslim,
dan dikuburkan di Hamadan. Ia pelanjut terpenting dari al-Fārābī. Ia mengikuti
al-Fārābī dalam menyatukan ‘ilm dan hikmah (filsafat) dan
mengungkapkan serta menekankan aspek-aspek Platonik.
Kemudian, ia membagi ‘ulum ke dalam dua bagian, seperti terlihat dari
dua krya ringkasnya mengenai topik ini, yaitu Risālah Taqsīm al-‘Ulūm:
1) pengetahuan
teoritis atau spekulatif yang berguna dalam pencarian atas keyakinan yang kuat
mengenai segala sesuatu yang keberadaannya melampaui kegiatan manusia,
“tujuannya adalah hanya pembentukan pandangan-pandangan akal (ra`y),
semisal pengetahuan atau keyakinan tentang keesaan Tuhan dan pengetahuan
mengenai predestinasi (qismah);
2)
(pengetahuan) praktis yang berguna dalam pencarian pandangan-pandangan rasional
untuk memperoleh “kebaikan” dengan pandangan untuk tindakan.
Pembagian lain mengenai ‘ulum menurut ibn Sīnā
adalah:
1)
pengetahuan yang lebih rendah, yang
disebut sebagai pengetahuan tentang kealaman atau ‘ilm al
thabī’iyāh.
Pengetahuan ini dibagi lagi ke dalam 2 subbagian:
a) dasar atau prinsip yang berkaitan dengan kualitas-kualitas yang
dimiliki oleh benda-benda
alamiah – materi, bentuk, gerak, ciri
dan sebab atau syarat produksi;
b) cabang atau turunan pengetahuan yang berkaitan dengan
keadaan-keadaan, gerak dan diam unsur-unsur utama dunia, termasuk benda-benda
langit. Bagian turunan-pengetahuan ini dibagi ke dalam berbagai bagian:
kedokteran, astronomi, penafsiran atas gagasan (ta1bir), magis (‘ilm
al-thilismat), dan alkemia.
2)
pengetahuan menengah, yang disebut pengetahuan propaedeutis atau al-‘ilm
al-riyaddhiyah; dan
3. Al-Ghazzali
Abū Hamīd Muhammad al-Ghazzālī (dalam bahasa Latin,
dikenal sebagai Algazel) adalah teolog Islam terkemuka serta pemikir yang
cemerlang dan orisinal, yang ditetapkan oleh kaum
Muslim dan bangsa Eropa sebagai muslim terbaik setelah Muhammad saw. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus, Khurasan,
Mashhad, Iran, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Klasifikasinya tentang ‘ulum
dapat dianalisis berdasarkan tiga keriteria:
(1) klasifikasi ‘ulum berdasarkan tingkat
kewajiban;
(2) klasifikasi ‘ulum berdasarkan sumber; dan
1) Klasifikasi ‘ulum berdasarkan tingkat kewajiban menurut al-Ghazzālī
a) pengetahuan yang menjadi kewajiban pribadi (fardh ‘ayn):
kewajibannya merupakan kewajiban syari’ah. Ia bertolak dengan pengetahuan
mengenai “lima tiang” Islam dan ketika pengetahuan ini melekat pada individu:
syahadat, solat, zakat, puasa, dan haji. Pengetahuan inipun menjadi kewajiban
untuk mempelajari tentang :
1.
Gagasan dan tindakan yang diharuskan atau dilarang menurut hukum Islam;
dan
2.
Keyakinan dan tindakan “qalbu”. ‘Ilm
al-mu’āmalah (pengetahuan mengenai transaksi) secara tradisional
berhubungan dengan hukum keperdataan Islam. Sekalipun demikian, al-Ghazzālī
mengembalikannya pada persoalan etika. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa
persoalan ini seringkali dilupakan para ahli hukum. Untuk memperbaiki
pengetahuan kalbu ia melakukan semacam “perang suci”. Ini merupakan perjuangan
untuk menemukan surga dan menghindarkan neraka. Bahkan, iapun menamakannya
sebagai “pengetahuan ukhrawi”. Ia memasukkannya “kelembutan” pada
keyakinan dan perbuatan yang menjadi tugas tanpa henti setiap manusia.
3. ‘Ilm al-muhāshafah (ilmu tentang wahyu)
merupakan pengetahuan esoteris mengenai hal-hal yang bersifat transenden,
seperti pengetahuan mengenai malaikat, sifat-sifat Allāh, kenabian, dan
sebagainya. Semua orang dituntut untuk meyakininya, seperti para Nabi a.s. dan
“orang-orang yang takarub dengan Allāh” memiliki pengetahuan nyata mengenai
semua misteri ini. Akan tetapi, orang kebanyakan diharapkan membatasi
pengetahuan mereka pada hal-hal yang dibolehkan oleh hukum Islam, karena
pengetahuan mengenai realitas transendental berada di luar wilayah kajian para
filosof dan teolog.
b)
Kewajiban sosial (fardh kifāyah)
dari ‘ulūm. Pengetahuan mengenai ‘ulūm ini merupakan kewajiban (fardh)
untuk komunitas muslim secara keseluruhan. Akan tetapi, kewajiban tersebut akan
menjadi bagi sebagian sosial karena dikenakan pada sebagian anggota komunitas
muslim yang secara khusus menekuni cabang-cabang pengetahuan tertentu.
Kesemuanya “mencakup setiap pengetahuan, tanpa kecuali, yang dimaksudkan untuk
kemaslahatan dunia”, yang tanpanya “komunitas muslim akan diturunkan ke posisi
paling rendah”.
2)
Klasifikasi ‘Ulūm berdasarkan
Sumber
a) Pengetahuan syarī’yah (‘ulūm syarī’yah).
Pengetahuan-pengetahuan ini “diterima oleh Nabi Muhammad saw. tidak melalui
penalaran, seperti aritmetika, atau pendengaran, seperti bahasa”. Pengetahuan-pengetahuan ini berhubungan dengan sumber
ajaran yang pertama dan kedua, yaitu al-Qur’ān dan Sunnah. Furū (cabang)
dari pengetahuan ini bersumber dari sumber-sumber syarī’ah melalui proses
penalaran, yang meliputi fiqih dan “pengetahuan mengenai ihwal hati`”.
b) Pengetahuan-pengetahuan
non-syarī’yah (‘ulūm ghayr syarī’-yah). Sumber-sumber primer dari ‘ulūm
ghayr syarī’yah adalah akal, pengamatan, dan sebagainya. ‘Ulūm yang
dibolehkan (mubāh) adalah “pengetahuan-pengetahuan yang tidak secara
tegas dilarang oleh syari’ah, yang mencakup pengetahuan-pengetahuan rasional
dan filosofis.
3)
Klasifikasi berdasarkan Fungsi Sosial
a) Pengetahuan-pengetahuan yang
terpuji (mahmūd), yaitu pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dan
tidak dapat dielakkan, karena aktivitas kehidupan bergantung kepada
pengetahuan-pengetahuan tersebut, misalnya pengobatan dan aritmatika.
b) pengetahuan-pengetahuan yang
tercela (madzmūm), seperti pengetahuan-pengetahuan magis, astrologi, dan
sebagainya.
Perbedaan
antara pengetahuan yang terpuji dengan pengetahauan yang tercela didasarkan
pada kriteria: jika pengetahuan dapat “melilhat segala sesuatu apa adanya,
seperti salah satu sifat Allāh”. Ketika ditanya mengenai kemungkinan adanya
pengetahuan yang terpuji, sekaligus tercela, al-Ghazzāli menggambarkan nilai
dan kesempurnaan pengetahuan dalam bab pertama kitabnya, Kitāb al-‘Ilm.
‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn (732-808 H/1332-1406 M)
merupakan “ahli sejarah filsafat pertama dan berpengaruh hingga abad kesembilan
belas”. Ia dilahirkan dari keluarga Arab-Spanyol.
Hingga berusia 40 tahun, ia tinggal Spanyol-Muslim dan Afrika Utara. Ia
mengabdi pada berbagai penguasa dengan posisi penting dalam setiap struktur
pemerintahan tempatnya mengabdi.
Sejak tahun 784 H/1382 M sampai meninggal, ia bekerja
sebagai profesor dan Hakim Kepala di Mesir. Ia dikenal sebagai ahli sejarah dan
sosiolog politik, ilmu ekonomi, kehidupan perkotaan, dan pengetahuan.
Kemashurannya terlihat dari karyanya yang berjudul Muqaddimah (Prolegomena),
juga Universal History dan Kitāb al-`Ibār wa Diwān al-Mubtadā wa
al-Khabar fī Ayām al-‘Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Kitab-kitab tersebut
ditulis selama masa pensiun di perbatasan Algeria dalam jangka waktu kurang
dari 4 tahun (776 779H/1375-1377 M.
Ibn Khaldūn memiliki kesamaan pandangan dengan al-Ghazzali. Ia
membagi pengetahuan ke dalam du klasifikasi utama, yaitu pengetahuan syarī’ah dan pengetahuan filsafat. Pengetahuan-pengetahuan berbasis syari’ah (naqliyah,
wadh’īyyah, atau positif). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan
institusional yang didasarkan pada informasi-informasi yang bersumber dari
al-Qur’ān dan Sunnah. Dalam pengetahuan-pengetahuan ini, tidak ada ruang untuk
penalaran akal kecuali dalam penerapan praktis dan deduktif.
Temuan-temuan yang bertentangan dengan hukum Islam (bid’ah), teologi
spekulatif, shūfīsm, dan sebagainya ditambahkan ke dalam
pengetahuan-pengetahuan jenis ini. “Semua pengetahuan yang diperoleh melalui
transmisi ini secara ekslusif merupakan miliki komutias mulism dan semua
anggotanya. Sekalipun terdapat pengetahuan-pengetahuan sejenis pada setiap
komunitas, namun kesamaannya sangat jauh (jins ba’īd) selama kesemua
pengetahuan itu termasuk ke dalam pengetahuan hukum … “.
Dengan demikian, setiap komunitas atau bangsa di dunia memiliki hukum
(syari’ah) tersendiri untuk pasokan doma dan doktrin serta kaidah-kaidah
mengenai perbuatan yang harus, dianjurkan, dibolehkan, dicela, dan dilarang
untuk dilakukan. Agama-agama lain tertarik pada konsep
“agama” yang sempit, sehingga menafikan politik dan kepemimpinan dari
organisasi sosial komunitas agama tersebut. Oleh karena itu, sulit dibandingkan
dengan syari’ah Islam.
Nabi
memiliki pengetahuan yang berada di luar jangkauan penalaran teoritis, yang
tidak dapat dikenali oleh semua mukmin. Oleh karena itu, lebih baik bagi
kebanyakan mukmin untuk tidak membuang waktu dengan kebenaran rasional dari
segala sesuatu yang ghayb. Apabila metafisika dijadikan objek
pengetahuan teoritis, maka “pemikiran akan tersesat dan hilang serta tidak
meperoleh pandangan yang benar”.
Nabi
Muhammad saw. diberitakan telah berkata bahwa pengetahuan dibagi ke dalam dua
bagian: pengetahuan tentang keagamaan dan pengetahuan tentang tubuh (al-‘ilm
al-ilmān, al-‘ilm al-adyān dan al-‘ilm al-abadān). Dalam kaitannya
dengan nilai, maka pengetahuan bertumpu pada teologi dan kedokteran. Hal itu
telah ditafsirkan pula bahwa pengetahuan dibedakan menjadi pengetahuan yang
abstrak dan pengetahuan yang konkrit atau pengetahuan metafisik dan fisik.
Klasifikasi ini menjelaskan bahwa dalam Islam pengetahuan alamiah atau fisika
tidak bertentangan dengan ajaran agama. “Islam mencakup keseluruhan hidup,
agama [umat Islam] merupakan agama yang agung, karena mencakup semua yang hal
yang dikenal sebagai gejala alam”.
Pengetahuan
inti adalah teologi, etika, fiqh, ushūl fiqh, dan pengetahuan mengenai
al-Qur’ān dan al-Sunnah (Hadīts). Adapun pengetahuan-bantu adalah tatabahasa,
retorika, logika, metodologi, dan matematika.
Pengetahuan-pengetahuan yang
berhubungan dengan al-Qur’ān, Hadīts, dan fiqh, yang menggunakan bahasa Arab,
dikenal sebagai ‘Ulūm al-‘Arab, “pengetahuan-pengetahuan Arab”. Pengetahuan-pengetahuan
“sekuler” yang berasal dari bahasa asing (Yunani, Persia, dan India) serta
sumber-sumber kuno disebut sebagai ‘Ulūm al-Ajam
(“pengetahuan-pengetahuan no-Arab”) atau ‘Ulūm al-Awā’il
(“pengetahuan-pengetahuan kuno”). Pengetahuan
Arab-Islam merupakan pengetahuan yang dipandang sangat penting sejalan dengan
pekembangan waktu. Klasifikasi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang terpuji (mahmūdah)
dan tercela (madhzūmah) merupakan klasifikasi
pengnetahuan yang cukup penting.
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Ibn
Khaldūn. Akan tetapi, pemikir lain memiliki pandangan yang sama.
Pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’ān (seperti kalam Allāh,
tajwid, bacaan, pemahaman dan penafsiran) dan al-Sunnah (semisal priwayatan
hadīts), hukum, kaidah-kaidah hukum, pemahaman dan pengamalan ibadah, merupakan
naqliyah ‘ulūm. Pada umumnya, kesemuanya merupakan ‘Ulūm al-‘Arab sesuai
dengan klasifikasi sebelumnya. ‘Ulūm yang tidak berhubungan langsung
dengan agama disebut ‘aqliyah ‘ulūm, karena kebanyakan merupakan
‘ulūm al-ajam, yang meliputi pengnetahuan-pengetahuan alamiah, filsafat,
dan “asing”.
Pengetahuan-pengetahuan
yang dibutuhkan adalah intuisi dan fakta sejarah serta geografi yang dikenal
sebagai laporan umum. Adapun pengetahuan-pengetahuan yang diwajibkan dijamin
melalui penerapan akal. Fakta penting yang dikenalkan wahyu melahirkan
pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan.
C. Kesimpulan
Manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna diciptakan Allah SWT mempunyai banyak sekali kelebihan jika
dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Satu hal
yang membuat manusia lebih baik dari makhluk yang lain yaitu manusia mampu
berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah SWT dengan akal
sehingga dengannya manusia mampu memilih, mempertimbangkan, menentukan jalan
pikirannya sendiri. Meski penghormatan Islam terhadap akal sedemikian besar,
bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, sehingga seseorang
lantas diperbudak oleh akalnya sendiri dan setiap masalah dihadapi hanya oleh
kekuatan akalnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/7627750/Pendidikan-Agamaislam
http://deffs.blogspot.com/2009/11/ilmu-dan-klasifikasi-ilmu-dalam-sejarah.html
http://sweejamz-lovers.blogspot.com/
MAKALAH
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Di Susun oleh :
Hidayatur Rohman
Pembimbing
Drs.H.sumiaji Asy’ari, MM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TARUNA
SURABAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan terhadap kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah “Islam dan Ilmu Pengetahuan” tanpa ada halangan yang
berarti dan selesai tepat pada waktunya.
Dalam Penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada Drs.H.sumiaji Asy’ari, MM selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama
Islam, serta keluarga dan kerabat penulis yang telah membantu dan memberi
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis berharap kritik dan saran semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
dan seluruh pembaca pada umumnya.
Surabaya, 5 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
A. Pendahuluan 4
B. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam 4
C. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu dalam Islam 9
D. Kesimpulan 13
Kata Penutup 14
Daftar Pustaka 15
A.
Pendahuluan
Kedudukan
akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain, karena akal dan
wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan
perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun
harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat
mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda
rasulullah SAW. Tidak hanaya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi
ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini,
begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang sangat
luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun
dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhitan
sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik ahir, begitu pula dengan
wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan
semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani anatara
wahyu dana akal harus slalu mengingat bahwa semua itu karna allah semata. Dan
tidak akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah kemusyrikan terhadap allah karena kesombongannya.
B. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam
1.
Wahyu
a)
Pengertian Wahyu
Kata wahyu
berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah
kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api,
dan kecepatan.[1]
Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki
dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu wahyu sering disebut
sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah
terhada Nabi-Nabi-NYA ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada
Nabi.[2]
Menurut
Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun
tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun
lainya.
[1] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam,
UI Press, Jakarta, cetakan kedua, 1986.
[2] Nasution,
Harun Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), UI
Press, Jakarta,cet.V,1986.
Wahyu berfungsi memberi
informasi bagi manusia. Yang dimaksut memberi informasi disini yaitu wahyu
memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan
akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah
dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak
langsung adalah senjata yang diberikan allah kepada nabi-nabiNYA untuk
melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai
keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu
Allah SWT.
Memang
sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak
mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki
kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
1)
Wahyu ada
karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2)
Wahyu
lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3)
Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia.
4)
Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5)
Wahyu
turun melalui para ucapan nabi-nabi.
B. Akal
a) Pengertian Akal
Kata akal
sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda.[3]
Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh (عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون)
24 ayat, na’qil (نعـقـل) 1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun (يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki
fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu
yang kemampuanya sangat luas.
Dalam
pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal,
menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan
masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan
berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya
yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan
manusia dari mahluk lain.
b) Fungsi Akal
Akal
banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran
dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi
ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai
hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal,
karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang
mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan
meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut.
Dan Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah
yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
c) Kekuatan Akal
Tak
seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti
contoh:
1)
Mengetahui
tuhan dan sifat-sifatnya.
2)
Mengetahui
adanya hidup akhirat.
3)
Mengetahui
bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat
baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan
jahat.
4)
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal tuhan.
5)
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
6)
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
3. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam
Kedudukan
antara wahyu dalam islam sama-sama penting. Karena islam tak akan terlihat
sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat berpengaruh
dalam segala hal dalam islam. Dapat dilihat dalam hukum islam, antar wahyu dan
akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum islam berbicara yang identik dengan
wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa hal
tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena
sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun
kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang
mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan
Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi
yang sangat mulia. Meski demikian bukan berartiakal diberi kebebasan tanpa
batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya.
Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalucocok dengan syariat islam
dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber
dari Allah SWT, pribadi NabiMuhammad
SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting
dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan
perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan
waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum ataukhusus.Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang
bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap,
tidak terpisah-pisah.Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa
al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang
waktu yang cukup panjang.[4]
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal,
karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah
sebuah anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang
mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah
ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti
pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk
suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu
perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu
perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain.
Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata
wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia
di akhirat.
Karena
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks,
yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr pengetahuan
manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada tuhan,
tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang
baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran islam memiliki
pendapat sendiri-sendiri antra lain:[5]
1)
Aliran Mu’tazilah sebagai penganut
pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal mmpunyai kemampuan
mengetahui empat konsep tersebut.
2)
Sementara itu aliran Maturidiyah
Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam tradisional, mengatakan juga
kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akan mempunyai kemampuan
mengetahui ketiga hal tersebut.
3)
Sebaliknya aliran Asy’ariyah,
sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga berpendapat bahwa akal hanya
mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima
kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan
menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
4)
Sementara itu aliran maturidiah
Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat
bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang
baik dan buruk dapat diketahui dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni
kewajiaban berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik
serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun
ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah,
dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah,
surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku
ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum
sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat
pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka
dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam
tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka
memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat
al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
[5] Atang, Metodologi Study Islam, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Dalam menangani hal tersebut banyak
beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara
wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir
yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam dalam sejarah. Menurut beliau
yang diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam
yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam karena
kurang mengoptimalkan potensi akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution
agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan
dan memahami agama tersebut.
C. Klasifikasi dan Karakteristik Ilmu dalam
Islam
Sejalan
dengan perkembangan waktu, ‘ulum dibagi dan diklasifikasikan ke dalam
isi dan bentuk. Salah satu upaya yang paling awal untuk mengklasifikasikan ‘ulum
dilakukan oleh al-Kindī, Abū Yūsuf ibn
Ishaq (801-873 M.) atau sekitar abad ketiga Hijriyah. Akan tetapi, klasifikasi
yang banyak diterima mengenai ‘ulum dibuat oleh Ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarkhān Abū Nashr al-Fārābī (wafat di Damaskus pada tahun 339
H/950 M), yang berasal dari Fārāb di kawasan Transoxania. Klasifikasinya
mengenai ‘ulum mencakup:
(a) pengetahuan bahasa
(b) pengetahuan logika
(c) pengetahuan matematik; aritmatik, geometri, optik,
atrologi, “gaya” (berat), dan mekanik
(d) (1)
pengetahuan teologis dan alamiah serta (d) (2) pengetahuan “teologi”, yang
mencakup ilmu politik, fiqh (ilmu hukum), dan kalām (teologi
skolastik).
Dalam De Ortu Scientarium, klasifikasi yang
dimaksudkan oleh al-Fārābī, yang hanya terbit dalam bahasa Latin, ‘ulum
(pengetahuan) diklasifikasikan dengan cara yang berbeda. Dalam hubungan ini:
1) Pengetahuan alam yang berkaitan
dengan hal-hal dan sebab sebab terjadinya perubahan benda.
Pengetahuan tentang gerak dan diam ini lebih lanjut dibagi ke dalam:
a) astrologi yuridis (de judiciis);
b) kedokteran;
c) kewahyuan
(de-nigromantia);
d) (penafsiran
atas) visi (de imaginibus);
e) agrikultur;
f) navigasi;
g) alchemy
(“pengetahuan untuk mengubah sesuatu ke dalam jenis-jenis
baru”);
h) optik
(de speculis).
2) a) pengetahuan mengenai 4 unsur
pembentuk alam semesta, yaitu: api, udara, air, dan tanah dan 4 sifat
yang menyertai masing-masing unsur
panas, dingin, cair, dan kering.
b) (1) ‘ulum al-riyādiyah (pengetahuan matematis mengenai angka-angka)
(2) mensuration
(3) astronomi
Dalam klasifikasi dan teoripengetahuan, al-Fārābī
menekankan bahwa kebenaran agama (wahyu) dan kebenaran filsafat (akal) memiliki
obyek yang sama, tetapi berbeda dalam bentuknya. Gagasan tentang pembagian
pengetahuan ini cukup berpengaruh dan al-Fārābī merupakan pemikir pertama yang
menghadirkan pemikiran filsafat yang kemudian diikuti oleh para ‘ulamā` dan
hukamā`.
2. Ibn Sīnā
Abū ‘Alī al-Husayn ibn Sīnā (Avicenna dalam bahasa Latin
atau Aven Sina dalam bahasa Ibrani) lahir pada tahun 980 M dan wafat 428 H/1037
M. Di kalangan orang Arab, ia dikenal sebagai al-syaikh al-ra`īs (maharaja
dalam pengetahuan) atau mu’allim al-tsānī (guru kedua setelah
Aristoteles). Ia dilahirkan dekat Bukhara, tinggal kawasan timur dunia muslim,
dan dikuburkan di Hamadan. Ia pelanjut terpenting dari al-Fārābī. Ia mengikuti
al-Fārābī dalam menyatukan ‘ilm dan hikmah (filsafat) dan
mengungkapkan serta menekankan aspek-aspek Platonik.
Kemudian, ia membagi ‘ulum ke dalam dua bagian, seperti terlihat dari
dua krya ringkasnya mengenai topik ini, yaitu Risālah Taqsīm al-‘Ulūm:
1) pengetahuan
teoritis atau spekulatif yang berguna dalam pencarian atas keyakinan yang kuat
mengenai segala sesuatu yang keberadaannya melampaui kegiatan manusia,
“tujuannya adalah hanya pembentukan pandangan-pandangan akal (ra`y),
semisal pengetahuan atau keyakinan tentang keesaan Tuhan dan pengetahuan
mengenai predestinasi (qismah);
2)
(pengetahuan) praktis yang berguna dalam pencarian pandangan-pandangan rasional
untuk memperoleh “kebaikan” dengan pandangan untuk tindakan.
Pembagian lain mengenai ‘ulum menurut ibn Sīnā
adalah:
1)
pengetahuan yang lebih rendah, yang
disebut sebagai pengetahuan tentang kealaman atau ‘ilm al
thabī’iyāh.
Pengetahuan ini dibagi lagi ke dalam 2 subbagian:
a) dasar atau prinsip yang berkaitan dengan kualitas-kualitas yang
dimiliki oleh benda-benda
alamiah – materi, bentuk, gerak, ciri
dan sebab atau syarat produksi;
b) cabang atau turunan pengetahuan yang berkaitan dengan
keadaan-keadaan, gerak dan diam unsur-unsur utama dunia, termasuk benda-benda
langit. Bagian turunan-pengetahuan ini dibagi ke dalam berbagai bagian:
kedokteran, astronomi, penafsiran atas gagasan (ta1bir), magis (‘ilm
al-thilismat), dan alkemia.
2)
pengetahuan menengah, yang disebut pengetahuan propaedeutis atau al-‘ilm
al-riyaddhiyah; dan
3. Al-Ghazzali
Abū Hamīd Muhammad al-Ghazzālī (dalam bahasa Latin,
dikenal sebagai Algazel) adalah teolog Islam terkemuka serta pemikir yang
cemerlang dan orisinal, yang ditetapkan oleh kaum
Muslim dan bangsa Eropa sebagai muslim terbaik setelah Muhammad saw. Ia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus, Khurasan,
Mashhad, Iran, dan meninggal pada tahun 505 H/1111 M. Klasifikasinya tentang ‘ulum
dapat dianalisis berdasarkan tiga keriteria:
(1) klasifikasi ‘ulum berdasarkan tingkat
kewajiban;
(2) klasifikasi ‘ulum berdasarkan sumber; dan
1) Klasifikasi ‘ulum berdasarkan tingkat kewajiban menurut al-Ghazzālī
a) pengetahuan yang menjadi kewajiban pribadi (fardh ‘ayn):
kewajibannya merupakan kewajiban syari’ah. Ia bertolak dengan pengetahuan
mengenai “lima tiang” Islam dan ketika pengetahuan ini melekat pada individu:
syahadat, solat, zakat, puasa, dan haji. Pengetahuan inipun menjadi kewajiban
untuk mempelajari tentang :
1.
Gagasan dan tindakan yang diharuskan atau dilarang menurut hukum Islam;
dan
2.
Keyakinan dan tindakan “qalbu”. ‘Ilm
al-mu’āmalah (pengetahuan mengenai transaksi) secara tradisional
berhubungan dengan hukum keperdataan Islam. Sekalipun demikian, al-Ghazzālī
mengembalikannya pada persoalan etika. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa
persoalan ini seringkali dilupakan para ahli hukum. Untuk memperbaiki
pengetahuan kalbu ia melakukan semacam “perang suci”. Ini merupakan perjuangan
untuk menemukan surga dan menghindarkan neraka. Bahkan, iapun menamakannya
sebagai “pengetahuan ukhrawi”. Ia memasukkannya “kelembutan” pada
keyakinan dan perbuatan yang menjadi tugas tanpa henti setiap manusia.
3. ‘Ilm al-muhāshafah (ilmu tentang wahyu)
merupakan pengetahuan esoteris mengenai hal-hal yang bersifat transenden,
seperti pengetahuan mengenai malaikat, sifat-sifat Allāh, kenabian, dan
sebagainya. Semua orang dituntut untuk meyakininya, seperti para Nabi a.s. dan
“orang-orang yang takarub dengan Allāh” memiliki pengetahuan nyata mengenai
semua misteri ini. Akan tetapi, orang kebanyakan diharapkan membatasi
pengetahuan mereka pada hal-hal yang dibolehkan oleh hukum Islam, karena
pengetahuan mengenai realitas transendental berada di luar wilayah kajian para
filosof dan teolog.
b)
Kewajiban sosial (fardh kifāyah)
dari ‘ulūm. Pengetahuan mengenai ‘ulūm ini merupakan kewajiban (fardh)
untuk komunitas muslim secara keseluruhan. Akan tetapi, kewajiban tersebut akan
menjadi bagi sebagian sosial karena dikenakan pada sebagian anggota komunitas
muslim yang secara khusus menekuni cabang-cabang pengetahuan tertentu.
Kesemuanya “mencakup setiap pengetahuan, tanpa kecuali, yang dimaksudkan untuk
kemaslahatan dunia”, yang tanpanya “komunitas muslim akan diturunkan ke posisi
paling rendah”.
2)
Klasifikasi ‘Ulūm berdasarkan
Sumber
a) Pengetahuan syarī’yah (‘ulūm syarī’yah).
Pengetahuan-pengetahuan ini “diterima oleh Nabi Muhammad saw. tidak melalui
penalaran, seperti aritmetika, atau pendengaran, seperti bahasa”. Pengetahuan-pengetahuan ini berhubungan dengan sumber
ajaran yang pertama dan kedua, yaitu al-Qur’ān dan Sunnah. Furū (cabang)
dari pengetahuan ini bersumber dari sumber-sumber syarī’ah melalui proses
penalaran, yang meliputi fiqih dan “pengetahuan mengenai ihwal hati`”.
b) Pengetahuan-pengetahuan
non-syarī’yah (‘ulūm ghayr syarī’-yah). Sumber-sumber primer dari ‘ulūm
ghayr syarī’yah adalah akal, pengamatan, dan sebagainya. ‘Ulūm yang
dibolehkan (mubāh) adalah “pengetahuan-pengetahuan yang tidak secara
tegas dilarang oleh syari’ah, yang mencakup pengetahuan-pengetahuan rasional
dan filosofis.
3)
Klasifikasi berdasarkan Fungsi Sosial
a) Pengetahuan-pengetahuan yang
terpuji (mahmūd), yaitu pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dan
tidak dapat dielakkan, karena aktivitas kehidupan bergantung kepada
pengetahuan-pengetahuan tersebut, misalnya pengobatan dan aritmatika.
b) pengetahuan-pengetahuan yang
tercela (madzmūm), seperti pengetahuan-pengetahuan magis, astrologi, dan
sebagainya.
Perbedaan
antara pengetahuan yang terpuji dengan pengetahauan yang tercela didasarkan
pada kriteria: jika pengetahuan dapat “melilhat segala sesuatu apa adanya,
seperti salah satu sifat Allāh”. Ketika ditanya mengenai kemungkinan adanya
pengetahuan yang terpuji, sekaligus tercela, al-Ghazzāli menggambarkan nilai
dan kesempurnaan pengetahuan dalam bab pertama kitabnya, Kitāb al-‘Ilm.
‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn (732-808 H/1332-1406 M)
merupakan “ahli sejarah filsafat pertama dan berpengaruh hingga abad kesembilan
belas”. Ia dilahirkan dari keluarga Arab-Spanyol.
Hingga berusia 40 tahun, ia tinggal Spanyol-Muslim dan Afrika Utara. Ia
mengabdi pada berbagai penguasa dengan posisi penting dalam setiap struktur
pemerintahan tempatnya mengabdi.
Sejak tahun 784 H/1382 M sampai meninggal, ia bekerja
sebagai profesor dan Hakim Kepala di Mesir. Ia dikenal sebagai ahli sejarah dan
sosiolog politik, ilmu ekonomi, kehidupan perkotaan, dan pengetahuan.
Kemashurannya terlihat dari karyanya yang berjudul Muqaddimah (Prolegomena),
juga Universal History dan Kitāb al-`Ibār wa Diwān al-Mubtadā wa
al-Khabar fī Ayām al-‘Arab wa al-Ajam wa al-Barbar. Kitab-kitab tersebut
ditulis selama masa pensiun di perbatasan Algeria dalam jangka waktu kurang
dari 4 tahun (776 779H/1375-1377 M.
Ibn Khaldūn memiliki kesamaan pandangan dengan al-Ghazzali. Ia
membagi pengetahuan ke dalam du klasifikasi utama, yaitu pengetahuan syarī’ah dan pengetahuan filsafat. Pengetahuan-pengetahuan berbasis syari’ah (naqliyah,
wadh’īyyah, atau positif). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan
institusional yang didasarkan pada informasi-informasi yang bersumber dari
al-Qur’ān dan Sunnah. Dalam pengetahuan-pengetahuan ini, tidak ada ruang untuk
penalaran akal kecuali dalam penerapan praktis dan deduktif.
Temuan-temuan yang bertentangan dengan hukum Islam (bid’ah), teologi
spekulatif, shūfīsm, dan sebagainya ditambahkan ke dalam
pengetahuan-pengetahuan jenis ini. “Semua pengetahuan yang diperoleh melalui
transmisi ini secara ekslusif merupakan miliki komutias mulism dan semua
anggotanya. Sekalipun terdapat pengetahuan-pengetahuan sejenis pada setiap
komunitas, namun kesamaannya sangat jauh (jins ba’īd) selama kesemua
pengetahuan itu termasuk ke dalam pengetahuan hukum … “.
Dengan demikian, setiap komunitas atau bangsa di dunia memiliki hukum
(syari’ah) tersendiri untuk pasokan doma dan doktrin serta kaidah-kaidah
mengenai perbuatan yang harus, dianjurkan, dibolehkan, dicela, dan dilarang
untuk dilakukan. Agama-agama lain tertarik pada konsep
“agama” yang sempit, sehingga menafikan politik dan kepemimpinan dari
organisasi sosial komunitas agama tersebut. Oleh karena itu, sulit dibandingkan
dengan syari’ah Islam.
Nabi
memiliki pengetahuan yang berada di luar jangkauan penalaran teoritis, yang
tidak dapat dikenali oleh semua mukmin. Oleh karena itu, lebih baik bagi
kebanyakan mukmin untuk tidak membuang waktu dengan kebenaran rasional dari
segala sesuatu yang ghayb. Apabila metafisika dijadikan objek
pengetahuan teoritis, maka “pemikiran akan tersesat dan hilang serta tidak
meperoleh pandangan yang benar”.
Nabi
Muhammad saw. diberitakan telah berkata bahwa pengetahuan dibagi ke dalam dua
bagian: pengetahuan tentang keagamaan dan pengetahuan tentang tubuh (al-‘ilm
al-ilmān, al-‘ilm al-adyān dan al-‘ilm al-abadān). Dalam kaitannya
dengan nilai, maka pengetahuan bertumpu pada teologi dan kedokteran. Hal itu
telah ditafsirkan pula bahwa pengetahuan dibedakan menjadi pengetahuan yang
abstrak dan pengetahuan yang konkrit atau pengetahuan metafisik dan fisik.
Klasifikasi ini menjelaskan bahwa dalam Islam pengetahuan alamiah atau fisika
tidak bertentangan dengan ajaran agama. “Islam mencakup keseluruhan hidup,
agama [umat Islam] merupakan agama yang agung, karena mencakup semua yang hal
yang dikenal sebagai gejala alam”.
Pengetahuan
inti adalah teologi, etika, fiqh, ushūl fiqh, dan pengetahuan mengenai
al-Qur’ān dan al-Sunnah (Hadīts). Adapun pengetahuan-bantu adalah tatabahasa,
retorika, logika, metodologi, dan matematika.
Pengetahuan-pengetahuan yang
berhubungan dengan al-Qur’ān, Hadīts, dan fiqh, yang menggunakan bahasa Arab,
dikenal sebagai ‘Ulūm al-‘Arab, “pengetahuan-pengetahuan Arab”. Pengetahuan-pengetahuan
“sekuler” yang berasal dari bahasa asing (Yunani, Persia, dan India) serta
sumber-sumber kuno disebut sebagai ‘Ulūm al-Ajam
(“pengetahuan-pengetahuan no-Arab”) atau ‘Ulūm al-Awā’il
(“pengetahuan-pengetahuan kuno”). Pengetahuan
Arab-Islam merupakan pengetahuan yang dipandang sangat penting sejalan dengan
pekembangan waktu. Klasifikasi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang terpuji (mahmūdah)
dan tercela (madhzūmah) merupakan klasifikasi
pengnetahuan yang cukup penting.
Klasifikasi ini dikemukakan oleh Ibn
Khaldūn. Akan tetapi, pemikir lain memiliki pandangan yang sama.
Pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur’ān (seperti kalam Allāh,
tajwid, bacaan, pemahaman dan penafsiran) dan al-Sunnah (semisal priwayatan
hadīts), hukum, kaidah-kaidah hukum, pemahaman dan pengamalan ibadah, merupakan
naqliyah ‘ulūm. Pada umumnya, kesemuanya merupakan ‘Ulūm al-‘Arab sesuai
dengan klasifikasi sebelumnya. ‘Ulūm yang tidak berhubungan langsung
dengan agama disebut ‘aqliyah ‘ulūm, karena kebanyakan merupakan
‘ulūm al-ajam, yang meliputi pengnetahuan-pengetahuan alamiah, filsafat,
dan “asing”.
Pengetahuan-pengetahuan
yang dibutuhkan adalah intuisi dan fakta sejarah serta geografi yang dikenal
sebagai laporan umum. Adapun pengetahuan-pengetahuan yang diwajibkan dijamin
melalui penerapan akal. Fakta penting yang dikenalkan wahyu melahirkan
pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan.
C. Kesimpulan
Manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna diciptakan Allah SWT mempunyai banyak sekali kelebihan jika
dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Satu hal
yang membuat manusia lebih baik dari makhluk yang lain yaitu manusia mampu
berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah SWT dengan akal
sehingga dengannya manusia mampu memilih, mempertimbangkan, menentukan jalan
pikirannya sendiri. Meski penghormatan Islam terhadap akal sedemikian besar,
bukan berarti seseorang lantas semaunya mempergunakan akal, sehingga seseorang
lantas diperbudak oleh akalnya sendiri dan setiap masalah dihadapi hanya oleh
kekuatan akalnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/7627750/Pendidikan-Agamaislam
http://deffs.blogspot.com/2009/11/ilmu-dan-klasifikasi-ilmu-dalam-sejarah.html
http://sweejamz-lovers.blogspot.com/
Post a Comment