MAKALAH
FILSAFAT ILMU
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Filsafat Umum”
Di Susun
oleh :
Hidayatur
Rohman
Pembimbing
Mas Bahri, M.TH
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH TARUNA
SURABAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan terhadap kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah “Islam dan Ilmu Pengetahuan” tanpa ada halangan yang
berarti dan selesai tepat pada waktunya.
Dalam Penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada Mas Bahri, M.Th selaku dosen mata Pengantar Filsafat 2, serta keluarga dan kerabat penulis yang telah membantu dan memberi
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis
sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis berharap
kritik dan saran semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan seluruh pembaca
pada umumnya
Surabaya, 16 Januari 2015
Pemakalah
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu telah banyak
pengaruhnya bagi kehidupan manusia, berbagai kemudahan hidup telah banyak
dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan suatu
sarana yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai
dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak
semua masalah dapat didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu
dilakukan. Walaupun
ilmu pengetahuan mencari pengertian menerobos realitas sendiri, pengertian itu
hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi
kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena, yang entah langsung atau tidak
langsung, dialami dari panca indera. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak
menerobos kepada inti objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka
ia tidak memberi jawaban perihal kausalitas yang paling dalam.
Pernyataan di atas mengindikasikan
bahwa sulit bahkan tidak mungkin ilmu mampu menembus batas-batas yang menjadi
wilayahnya yang sangat bertumpu pada fakta empiris, memang tidak bisa dianggap
sebagai kegagalan bila demikian selama klaim kebenaran yang disandangnya
diberlakukan dalam wilayahnya sendiri, namun jika hal itu menutup pintu
refleksi radikal terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi
upaya memahami kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya.
Meskipun dalam tahap awal perkembangan
pemikiran manusia khususnya jaman Yunani kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam
filsafat, namun pada tahap selanjutnya ternyata telah melahirkan berbagai
disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai asumsi filosofisnya (khususnya
tentang manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai homo economicus
yakni makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi
memandang manusia sebagai homo socius yakni makhluk yang selalu ingin
berkomunikasi dan bekerjasama dengan yang lain, hal ini menunjukkan suatu
pandangan manusia yang fragmentaris dan kontradiktif, memang
diakui bahwa dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin
terspesialisasi, dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin tajam,
namun seiring dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha untuk
mampu membuat generalisasi, hal ini nampak seperti contradictio in terminis
(pertentangan dalam istilah).
Dengan demikian eksistensi ilmu
mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi,
dikaji, bukan untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat dalam
batas wilayahnya, hal inipun dapat membantu terhindar dari memutlakkan ilmu dan
menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, di samping
perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan
dimensi dan bidang lain yang hidup dan berkembang dalam memperadab manusia. Dalam hubungan ini penulis ingin
mengulas lebih lanjut tentang “Ilmu
dan Pengetahuan.”
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pengetahuan dan ilmu?
2. Apa
yang dimaksud dengan filsafat ilmu?
3. Bagaimana
hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat?
C.
Tujuan dan
Manfaat
Melalui penulisan ini diharapkan
nantinya bisa mengungkapkan secara detail perbedaan antara ilmu dengan
pengetahuan, sehingga nantinya hasil dari ulasan penulisan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
D. Pengetahuan
Sebelum penjabaran tentang perbedaan pengetahuan dan ilmu
pengetahuan, perlu diuraikan tentang pengertian pengetahuan dan ilmu
pengetahuan. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mendalami perbedaan antara
pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa
Inggris yaitu knowledge.[1]
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa pengetahuan adalah
kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Sedangkan
secara terminologi pengetahuan ada beberapa definisi:
a. Pengetahuan
adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut
adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu
adalah semua isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses
dari usaha manusia untuk tahu.[2]
b. Pengetahuan
adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang
diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang
mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan
aktif.
c. Pengetahuan
adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya
ilmu, seni dan agama. Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang
secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia
terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek
tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indera maupun
lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ide, atau
yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Jadi dapat dipahami bahwa, pengetahuan adalah keseluruhan
pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat
juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense,
tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu.[3]
Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan
pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulannya
ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian
pengetahuan lebih cenderung trial and error dan berdasarkan pengalaman
belaka.
E. Ilmu
Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan
mensistematisasikan sesuatu.[4]
Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan
teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat berupa suatu metode berfikir secara objektif (objective
thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia
faktual.[5]
Ini diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya
merupakan hal yang objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan
pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Ilmu
secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan
konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh
jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.
Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya
umat manusia memperoleh sesuatu lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di
masa lampau, sekarang dan kemudian serta suatu kemampuan yang meningkat untuk
menyesuaikan dirinya.
Berbicara masalah ilmu pengetahuan beserta definisinya
ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi
tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat
ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan
penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang
satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia
adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Amsal
Bakhtiar (2005) di antaranya adalah:
1. Mohamad
Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.[6]
2. Ralph
Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional,
umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.
3. Karl
Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
4. Ashley
Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu
sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan
hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.[7]
5. Harsojo,
menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan
suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu
dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya
dapat diamati oleh panca indera manusia.
6. Afanasyef,
menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia
mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapan
dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip
yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pembuktian kebenaran pengetahuan
berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif.
Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan
logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan
fakta. Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang
sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga
menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan
di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
F. Objek Ilmu Pengetahuan
Ilmu filsafat
memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai
bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang dijadikan sasaran
menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek
material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge), pengetahuan
yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.[8]
Objek formal adalah cara pendekatan
yang dipakai atas objek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau
mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien,
maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa objek formal adalah sudut pandang dari
mana dan bagaimana subjek menelaah objek materialnya yang menyangkut asal usul,
struktur, metode, dan validitas ilmu.[9] Objek
formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat
ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan,
seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran
ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
Jadi beranjak dari sana kita dapat memahami bahwa, ilmu
adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah
pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material
dan objek formal.[10]
Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke
dua objek tersebut. Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran
pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang
dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya manusia, tumbuhan,
batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian.
Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti
terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek
formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada
saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang yang lain. Satu objek material
dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang
berbeda-beda.[11]
G. Dasar Ilmu
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi.[12]
Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau
bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide,
nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan
penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu
objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi pertama
adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat
(substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua
adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode
tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu
menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sebagian ciri yang patut
mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah
munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan
kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna
tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan
pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai
untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini.
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu
bagi kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling
penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia
menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Berdasarkan
aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua
arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia
dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan
dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu
aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh
manusia.[13]
Ilmu menganut pola tertentu dan tidak terjadi secara kebetulan. Ilmu tidak saja
melibatkan aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga
dengan demikian merupakan suatu proses. Proses dalam rangkaian aktivitas ini
bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuan-tujuan tertentu. Di samping ilmu
sebagai suatu aktivitas, ilmu juga sebagai suatu produk. Dalam hal ini ilmu
dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang merupakan hasil berpikir
manusia. Kedua ciri dasar ilmu yaitu wujud aktivitas manusia dan hasil
aktivitas tersebut, merupakan sisi yang tidak terpisahkan dari ciri ketiga yang
dimiliki ilmu yaitu sebagai suatu metode.
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman
disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua hal yang pokok, yaitu siklus
yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan
empirik menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam
tingkatan pertama dapat diregistrasi secara inderawi. Metode siklus-empirik
mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan
evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari
segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap
kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan.
H. Hubungan Ilmu Pengetahuan dengan
Filsafat
Filsafat ilmu pengetahuan adalah salah satu
cabang filsafat.[14] Filsafat
diartikan sebagai sikap: sikap mempertanyakan atau sikap bertanya, yaitu
bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu atau mempertanyakan apa saja. Dengan
kata lain filsafat sesungguhnya adalah metode berfikir, yaitu cara. Sikap
bertanya itu sendiri adalah filsafat, termasuk mempertanyakan “Apa itu
filsafat?” Karena itu, ketika kita bertanya “Apa itu filsafat?” kita
sesungguhnya berfilsafat dan dengan demikian memperlihatkan secara paling
konkret hakikat filsafat itu sendiri. Meskipun
pada akhirnya setiap pertanyaan dapat
ditemukan jawabannya, namun jawaban ini selalu dipertanyakan lagi. Karena
itulah, filsafat dianggap sebagai sesuatu yang bermula dari pertanyaan dan
berakhir dengan pertanyaan. Bahkan pertanyaan itu sendiri merupakan sebuah
jawaban. Dengan kata lain, filsafat adalah sebuah sistem pemikiran, atau lebih
tepat cara berpikir, yang terbuka; terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoalkan
kembali. Teori pengetahuan menjadi inti diskusi, apa hakikat pengetahuan,
apa unsur-unsur pembentuk pengetahuan, bagaimana menyusun dan mengelompokkan
pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan, dan juga apa saja yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan.[15] Jadi di sinilah filsafat ilmu memfokuskan kajian atau telaahnya. Yakni
pada sebuah kerangka konseptual yang menyangkut
sebuah sistem pengetahuan yang di dalamnya terdapat hubungan relasional
antara, pengetahu/yang mengetahui (the knower)
dan yang terketahui/yang diketahui (the
known) dan juga antara pengamat (the
observer) dengan yang diamati (the
observed).[16]
Memang benar bahwa secara etimologis filsafat itu berarti
cinta akan kebenaran; suatu dorongan terus-menerus, suatu dambaan untuk mencari
dan mengejar dambaan. Tetapi, dalam pengetian ini, yang pertama-tama mau
diungkapkan adalah bahwa filsafat adalah sebuah upaya, sebuah proses, sebuah
pencarian, sebuah quest, sebuah
perburuan tanpa henti akan kebenaran. Karena itu, cinta (philo) dalam philosophia,
tidak dipahami pertama-tama sebagai kata benda yang statis, yang given, melainkan sebagai sebuah kata
kerja, sebuah proses. Dalam arti itu, filsafat adalah sebuah sikap yang
dihidupi, yang dihayati dalam pencarian, dalam quest, dalam pertanyaan terus-menerus.
Dalam filsafat ilmu pengetahuan, sikap ini muncul dalam
bentuk sikap kritis yang ingin meragukan terus kebenaran yang telah ditemukan.
Karena itu pula, apa yang disebut sebagai kebenaran dan yang pada titik
tertentu diyakini sebagai kebenaran selalu akan diliputi tanda tanya. Konkritnya
dengan berfilsafat, dengan berupaya mencari kebenaran, pada akhirnya orang
semakin memahami makna segala sesuatu, termasuk makna kehidupan ini, justru
karena pencarian terus-menerus tadi, maka semakin jelas tentang apa itu filsafat.
Filsafat
disebut juga sebagai ratu dan induk semua ilmu pengetahuan, ratu yang
memahkotai semua ilmu dengan sikap dasar selalu bertanya ini. Disebut induk
karena dari sikap dasar bertanya ini lahirlah berbagai ilmu yang demikian
banyak sekarang ini. Tapi, ada satu perbedaan dasar antara sikap bertanya dalam
filsafat dan sikap bertanya dalam semua ilmu lainnya. Dalam filsafat, kita
memepertanyakan apa saja dari berbagai sudut, khususnya dari sudut yang paling
umum dan mendasar menyangkut hakikat, inti, penegertian paling mendasar. Sedangkan
dalam ilmu pengetahuan, yang di pertanyakan hanya satu saja kenyataan yang
digulumi oleh ilmu itu dan dipertanyakan dari sudut pandang ilmu yang
bersangkutan. Jadi, yang dipersoalkan filsafat adalah seluruh kenyataan
dari sudut pandang yang paling mendasar.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan
dengan titik tekan, di mana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih
bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan
observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indera serta berupaya
untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat
berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif
dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat
lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya
memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik
pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan
antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga
mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta
seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat
mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti
bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya
mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan
objek kajian filsafat (filsafat ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu
mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif
dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.[17]
Dengan demikian, ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat
dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang
tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, namun ada ilmu
yang dapat menjawab masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya
bersifat mutlak/dogmatis.
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas,
namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung
pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh
karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting,
terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya
filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat
dari objek kajian dan telaahannya.
I.
Perkembangan
Ilmu Pengetahuan
Pada awalnya yakni pada masa Yunani kuno yang pertama muncul
adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat.[18]
Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater
scientiarum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh
kenyataan, padahal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan
berpisahnya ilmu dari filsafat. Meskipun pada perkembangannya
masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan
filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang
dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara
masing-masing ilmu.[19]
Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu
yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing
ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu
pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas. Ada hubungan
timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang
memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin
dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat
sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi
perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan
ilmiah.
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang
sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu
sendiri, yang juga mengalami spesialisasi.[20]
Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah
menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu
adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan
terkristal dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu
sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.
J. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, di antaranya yang menjadi esensi
dari pembahasan antara lain:
Hakikat filsafat secara bahasa
philo/philia/philare yang artinya cinta, ingin, senang dan
kata sophia/sophos yang artinya ilmu, kebijaksanaan atau
pengetahuan. Jadi filsafat/falsafah/filosofi artinya adalah mencintai
kebijaksanan pengetahuan dan keinginan yang kuat akan ilmu pengetahuan. Jadi
berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada
secara kritis, sistematis,
tertib, rasional dan
komprehensif.
Hakikat filsafat
ilmu merupakan cabang dari filsafat yang secara
sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsep-
konsep, dan pra-anggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan
intelektual. Di
samping itu filsafat ilmu pada
dasarnya adalah ilmu
yang berbicara tentang
ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas
ilmu lainnya. Dalam menyelesaikan kajiannya pada konsep ontologis, secara epistemologis
dan tinjauan ilmu secara aksiologis.
Objek filsafat
ilmu yaitu:
pertama, objek material
adalah ilmu dengan segala gejalanya manusia untuk tahu. Kedua, objek formal
adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dengan berbagai gejala dan upaya
pendekatannya.
Secara sederhana ilmu pengetahuan dapat
dikelompokkan dalam dua bidang ilmu: ilmu eksakta dan ilmu humaniora. Dalam
ilmu-ilmu eksakta ‘klasik’, pada
umumnya semua teori dipandang serba akurat dan pasti, kecuali untuk beberapa pengecualian
(anomali). Salah satunya yang terkenal adalah “anomali air.” Dari segi teori,
pemanasan/pendinginan bahan tertentu akan mempercepat/ memperlambat gerak
ion-ion dalam atom bahan itu. Karena itu hampir semua barang yang dipanaskan
akan memuai (dan menyusut jika didinginkan), kecuali air yang memang mulai
menyusut saat awal pendinginan tetapi pada titik 0o C akan mulai
memuai lagi. Dari segi teori anomali ini memang tak bisa dijelaskan, tetapi
anomali ini adalah kenyataan tetap (terbukti) dalam empirik.
Ada perbedaan prinsip antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu
merupakan kumpulan dari berbagai pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan dapat
dikatakan ilmu setelah memenuhi syarat-syarat objek material dan objek formal. Ilmu
bersifat sistematis, objektif dan diperoleh dengan metode tertentu seperti
observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya bersifat objektif dengan
menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak
dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Sedangkan pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik, pengetahuan merupakan informasi yang berupa common sense, tanpa
memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan
tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini
landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan
tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji
lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan
berdasarkan pengalaman belaka.
Jadi, ilmu pengetahuan masa kini cenderung mengakui keterbatasannya
dalam mengamati kehidupan manusia dan lingkungannya secara holistik/menyeluruh
apalagi jika ditambahkan unsur adanya super-spesialisasi ilmu masa kini.
Kerjasama di berbagai bidang ilmu menjadi hal yang bersifat imperatif. Sikap
serba akurat dan pasti dalam logika ilmu sudah ditinggalkan oleh dunia ilmu
masa kini. Pandangan orang masa kini, yang cenderung cepat menarik kesimpulan
pasti dapat dicurigai berasal dari orang yang sembrono dan subjektif, atau
berasal dari orang yang tanpa sadar sudah tenggelam
dalam zaman,
atau seperti ungkapan “sudah punya
pilihan prinsip/paham tertentu sebelum penelitian tuntas dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. XI,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu, (Bandung: Pustaka Sutra,
2008).
Burhanuddin
Salam, Logika Materiil (Filsafat Ilmu
Pengetahuan), Cet. I, (Bandung: Rineka Cipta, 2003).
Dani
Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi:
Suatu Pengantar, (Jakarta: Pustaka Indeks, 2008).
Endang Saifudddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987).
Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam,
(Kudus: Stain Kudus, 2008).
Fuad
Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010).
Hasan Bakti
Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001).
JB. Blikolong, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar, (Seri
Diktat Kuliah), (Universitas Gunadarma Jakarta).
Jerome
R. Ravertz, Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010).
Muhdhor
Achmad, Ilmu dan Keingintahuan, (Bandung:
Trigendakarya, 1994).
Redja
Mudyaharjo, Filsafat Pendidikan: Suatu
Pengantar, Cet. I, (Bandung: Rosdakarya, 2001).
Rizal
Mustansyir, dkk, Filasafat Ilmu, Cet. III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
catatan kaki
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. XI,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 85.
[2] Burhanuddin Salam, Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan),
Cet. I, (Bandung: Rineka Cipta, 2003), hal. 28.
[3] Burhanuddin Salam, Logika Materiil …. hal. 29.
[4] Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu, (Bandung: Pustaka Sutra, 2008),
hal. 7-11.
[6]
Endang Saifudddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1987), hal. 47.
[8] Mohammad
Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 53.
[9] JB.
Blikolong, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar, (Seri Diktat Kuliah),
(Universitas Gunadarma Jakarta), hal. 7.
[10]
Dani
Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi:
Suatu Pengantar, (Jakarta: Pustaka Indeks, 2008), hal. 8.
[11] Burhanuddin Salam, Logika Materiil …. hal. 2.
[13] Burhanuddin
Salam, Logika Materiil …. hal. 98.
[14]
Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010), hal. 7.
[16] Jerome R. Ravertz, Filsafat
Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hal. 86.
[17] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu …. hal. 1.
Post a Comment