GURU
ngaji, mungkin kedengarannya kuno dan kolot, bahkan banyak diantara sekelompok
masyarakat yang meremehkan ‘tugas’ yang diemban oleh beliau (guru ngaji),
bahkan mungkin acuh terhadap pendidikan yg beliau terapkan.
Disini,
saya akan mengulas sebuah kisah nyata mengenai seorang guru ngaji
(ustadz&ustadzah), santri-santri, dan masyarakat khususnya orangtua santri.
Ketika
menulis ini, sedikit saya miris dengan apa yg terjadi. Seorang mu’alim yg
dengan susah payah membentuk karakter iman, islam, dan ihsan seorang anak
didiknya harus rela mengalah dan merasa dipermalukan di depan umum.
Berawal
dari acara orkes pada 15 maret 2015, tangguhnya iman yg di bangun haruslah
terkikis karena para santriwati ikut memeriahkan acara tersebut. Tentu saja
anda bertanya ,apa yg salah? Salah mereka adalah menghancurkan pengharapan dan
akhlak islam yg telah sang guru ajarkan.
Lantas,
bolehkah sang guru menegurnya? Saya rasa tentu saja boleh, seorang guru ngaji
disini yg paling disalahkan ketika karakter islami anak didiknya(santri)
menyimpang dari akhlak al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena pada kenyataannya
cibiran dan cemoohan pun dilontarkan kepada beliau (guru ngaji) dengan dalih
tak ‘becus’ mendidik.
Saya
ingin bertanya ,apakah salah jika sang guru menegur kemudian menasehati mereka?
Jika jawaban anda ‘TIDAK lah salah’ maka saya pun berfikir demikian.
Lantas
polemiknya dimana author? Polemiknya adalah orangtua dari santri tidak menerima
teguran tersebut ,bahkan mereka(para orangtua) tidak mengizinkan putra-putrinya
untuk kembali mengaji, Naudzubillah. Tolonglah renungkan ,apakah lantas seorang
guru harus dimusuhi karena masalah ini? []
Post a Comment