Oleh: Ilham Kadir, Pakar Pendidikan Islam
PENTING ditegaskan bahwa Islam memiliki konsep
ilmu tersendiri dibandingkan dengan peradaban dan agama lain yang pernah dan
masih ada saat ini. Namun secara spesifik, penekanan konsep ilmu menurut Islam
dimaksud adalah untuk menjadi pembeda dengan konsep keilmuan Barat yang telah
menjadi anutan dan rujukan hampir semua umat Islam di negara mana pun, termasuk
Indonesia.
Inilah yang dikoreksi Prof Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, bahwa tidak ada yang lebih rusak dalam sisi pemikiran saat ini
melebihi konsep ilmu yang diaplikasi lalu ditularkan Barat terhadap dunia,
lebih khusus kepada umat Islam.
Penting karena, apa yang dimaksud ilmu
sebagai kebenaran hakiki dalam Islam tidak dianggap ilmu oleh Barat. Wahyu yang
termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis adalah sebuah kebenaran mutlak dari Allah
lewat Rasulullah, namun bagi Barat itu bukan ilmu karena dianggap tidak ilmiah
dan irasional.
Penjabaran ini melemparkan kita untuk
berdiskusi jauh ke ranah filsafat, dalam kasus ini, epistemologi ilmu, atau
bahasa lugasnya “pengetahuan asas sebelum berilmu”. Menurut Barat, sumber ilmu
itu sangat materialistik dan rasionalisme-empiris, sumber ilmu harus kasat,
terlihat jelas dan rasional, untuk itulah, akal dan pancaindra adalah alat
utama untuk mendapatkan ilmu (fisik), sedangkan wahyu yang berbentuk metafisik
itu, tidak dapat dinalar dengan pancaindra, maka wahyu jelas bukan ilmu, hanya
mitos dan khayalan.
Sebenarnya aliran empirisme ini perkembangan
dari aliran-aliran sebelumnya, yang tentu saja masih wujud di sekitar kita.
Diawali dengan Georgians, salah seorang tokoh sophisme sekitar abad ke-4-5
sebelum Masehi. Pernah menggunakan logikanya bahwa tidak ada yang maujud dalam
alam nyata ini, katanya, Kalau di sana ada sesuatu yang maujud, tentu saja ia
wujud dari ketiadaan, maka hal itu mustahil karena tidak mungkin sesuatu
mewujudkan dirinya, kalau ada yang wujud sebelumnya, maka ini akan
mengakibatkan tasalsul, yakni perurutan yang tidak berakhir dan juga tidak
berawal.
Protagoras, filosof sophisme lainnya,
mendukung, katanya, Tidak ada yang mandiri dari apa yang tergambar dalam benak
kita. Apa yang dianggap oleh seseorang benar adalah nisbi, yakni benar untuknya
sedang orang lain juga memiliki persepsi apa yang dianggapnya benar.
Kesimpulannya, tidak ada yang dinamakan kesalahan, karena semuanya nisbi.
Pandangan sophisme pun merebak ke kalangan
sufi nyeleneh yang berpendapat bahwa siapa yang berkata ‘dalam maujud ini ada
selain Allah, maka dia telah berbohong!’ Ucapan konyol ini dapat disanggah
dengan lugu, sambil dibungkam dengan pertanyaan, Jika demikian, siapakah yang
berbohong itu?
Aristoteles (384-322 SM) datang, ia berhasil
mementalkan argumen-argumen kaum sophis yang meragukan wujud nyata oleh
pancaindra melalui keberhasilannya merumuskan apa yang dinamai “logika Aristo”.
Filosof ini berhasil memformalkan prinsip-prinsip pemikiran dan merumuskan
sejumlah ketentuan dasar dalam menetapkan sebuah konklusi/natijah, (Shihab,
2006: 129).
Tapi menurut Prof Al-Attas, justru
Aristoteles yang menjadi pelopor utama sekularisme. Menurutnya, Aristoteles
telah meresmikan sekularisme dalam filsafat dan kehidupan ketika ia
mengeluarkan dan memisahkan Tuhan dari manusia dan alam. Ini karena Aristoteles
bermaksud hendak menyelamatkan Tuhan dari “terhina” dengan sisi perubahan yang
dialami oleh alam dan manusia. Lebih berbahaya lagi, implikasi dari pandangan
Aristoteles itu, ketika didefinisikan bahwa Tuhan tidak boleh berpikir tentang
makhluk-Nya tetapi hanya tentang Diri-Nya sendiri (Wan Daud, 2007: 15).
Masalah ini berlarut-larut karena mereka
tidak memiliki sumber pengetahuan yang normatif kecuali akal dan tradisi yang
selalu bertentangan antar satu dengan lainnya, sehingga kebenaran menurut
mereka selalu berubah berdasarkan setting ruang dan waktu. Inilah yang
membedakan konsep ilmu dalam Islam yang berpandukan pada pancaindra, rasio,
intuisi, dan paling utama adalah wahyu. Firman Allah, Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, aneka penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur,
(QS. An-Nahl [16]: 78) adalah bagian dari epistemologi dasar dalam Islam.
Cukup banyak ayat menegaskan bahwa sumber
ilmu itu mencakup mata, telinga, intuisi (hati) dan akal, bahkan perintah untuk
melakukan perjalanan di bumi juga dikonotasikan sebagai bagian dari metode
menemukan ilmu, dan kita yakin bahwa pengalaman adalah guru yang baik,
experience is the good teacher.
Selain akal, intuisi (hati), dan pancaindera
(al-khawas al-khamsah) sebagai sumber untuk memeroleh ilmu, epistemologi Islam
juga mengenal khabar shadiq, atau true report alias berita yang tidak diragukan
kebenarannya, dalam hal ini, wahyu termasuk di dalamnya. Umat Islam memandang
bahwa wahyu, baik Al-Qur’an maupun hadis adalah kumpulan berita dengan seleksi
yang ketat dan tidak mungkin terjadi kesangsian dan kesalahan, orang-orang yang
terlibat dalam kodifikasi (pengumpulan dan penulisan) adalah manusia-manusia
yang shadiq, atau kejujurannya tak terbantahkan.
True report juga bisa dianalogikan begini:
saya tidak tau jika dilahirkan oleh pasangan Abdul Kadir dan Siti Hawa, tetapi
saya mengakui kalau mereka berdua adalah orang tua saya yang telah mengandung,
melahir, dan membesarkan saya. Dari mana saya tahu? Hanya informasi dari kedua
orang tua, dan orang-orang di sekitar saya, informasi itulah disebut true
report, kabar yang tidak disangsikan kebenarannya.
Karena kebenaran berita yang saya terima
bersifat mutlak dari orang-orang di sekitar keluarga di Bonto Cani, maka tidak
dibutuhkan tes deoxyribose-nucleic acid (DNA) untuk mengetahui siapa sebenarnya
kedua orang tua saya. Informasi ini menjadi sebuah keyakinan yang pasti pada
diri saya, karena kebenarannya mutlak seratus persen, maka ia juga disebut
sebagai ilmu. Dan, para penganut mazhab empiris-rasionalisme seharusnya
meragukan siapa orang tua mereka sebelum dibuktikan dengan tes DNA. Wallahu
A’lam! []
Enrekang, 9 Maret 2015
Post a Comment