PSIKOLOGI
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah
“Pengantar Psikologi”
Di Susun oleh :
Jefri Firmansyah
Hidayatur Rohman
Bahrul Anam
Pembimbing
Nafi’ Mubarok, SHI,
M.HI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
TARUNA
SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur penulis ucapkan terhadap kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah “Islam dan Ilmu Pengetahuan” tanpa ada halangan yang berarti dan
selesai tepat pada waktunya.
Dalam
Penyusunan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Bapak
Nafi’ Mubarok, SHI, M.HI selaku dosen mata kuliah Pengantar
Psikologi, serta keluarga dan kerabat penulis yang telah membantu dan memberi
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis sadar
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis berharap kritik
dan saran semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan seluruh pembaca pada
umumnya.
Surabaya, 29
Februari 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses
dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan
adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington,
1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara
psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan
apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama
studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi
pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni
persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen
utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang
dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan
fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang
besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
B. Mendorong Tindakan Belajar
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah
besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang
lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang
bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan
pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan
semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan
yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua,
tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi
pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik
menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak
relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang
dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang
dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan
berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai
dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat
ini, dan tidak untuk masa lima
hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan
informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari
konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk
menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini,
dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan
dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk
memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu
falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang
pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara
subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung
kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak
sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme
perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan
perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk
mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan
belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik
belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai
kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar
yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya
sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri
; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu
lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam
buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif
dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan
fasilitator dari seorang pendidik.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator
dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik.
Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor
fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor
Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material
pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual
subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil
belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk
mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan
subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang
paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan
lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam
yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar
padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari.
Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang
kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah
faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan
belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai
sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu
mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi
efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor
fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah
kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah
kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi
jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk
memulai tindakan belajar.
2. Faktor
Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar jumlahnya banyak sekali,
dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah.
Perilaku
individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan
aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai
gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1. Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang
memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik.
Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas
belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa
melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material
pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain
peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi
pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari
subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak
disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk
mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di
sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian
psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan
yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek
didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan.
Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu
subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran,
para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan
menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan
itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi
tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata
lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan
melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika
demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di
dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya
penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan,
umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3. Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan
berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan
(3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan”
selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan
mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya
dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal
yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan
pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar
dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu,
pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga
lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran
berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik
adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek)
dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan
kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek
didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa
segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan
akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat,
lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan
tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat,
menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal
yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan
ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek
didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah
dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah
satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau
prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya
untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus
diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons
tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik
dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian
tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.
2.4. Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah
berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di
dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui
proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di
dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini
dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan
tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan
pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan
berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal
akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif
berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah
mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para
pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya”
tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek
didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan
pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci
yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir
mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi
subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5. Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang
mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi
timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat
menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif
ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik
sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar
membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu
lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif
intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati
hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui
penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik.
Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi
yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat
agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat
“self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek
didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat
kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan
yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan
terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi
orang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Psikologi dan Pendidikan.
Secara
etimologis, istilah psikologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
psyche berarti ”jiwa”, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah
psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala
kejiwaan. Namun apabila mengacu pada salah satu syarat ilmu yaitu adanya objek
yang dipelajari maka tidaklah tepat mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa
karena jiwa bersifat abstrak. Oleh karena itu yang sangat mungkin dikaji
adalah manifestasi dari jiwa itu sendiri yaitu dalam wujud perilaku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan dasar ini maka psikologi dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut
Whiterington (1982:10) bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan yang
berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar.[1]
Itu artinya bahwa tindakan-tindakan belajar yang berlangsung secara terus
menerus akan menghasilkan pertumbuhan pengetahuan dan perilaku sesuai dengan
tingkatan pembelajaran yang dilalui oleh individu sendiri melalui proses
belajar-mengajar. Karena itu untuk mencapai hasil yang diharapkan, metode dan
pendekatan yang benar dalam proses pendidikan sangat diperlukan.
Kalau kita
berbicara tentang individu yaitu manusia, maka kita akan bertemu dengan
beberapa keunikan perilaku/jiwa (psyche), dan faktor ini akan berhubungan erat
bahkan menentukan dalam keberhasilan proses belajar. Didasari pada begitu
eratnya antara tugas psikologi (jiwa) dan ilmu pendidikan, kemudian lahirlah
suatu subdisiplin yaitu psikologi pendidikan (educational psychology).
Psikologi
pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan
yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Dari dua definisi ini maka
jelas fokus dari psikologi pendidikan adalah proses belajar mengajar.
B. Peran Psikologi Pendidikan Dalam Proses
Belajar-Mengajar
Dalam
bukunya, Drs. Alex Subor, M,si.[2]
mendefinisikan bahwa Psikologi Pendidikan adalah subdisiplin psikologi
yang mempelajari tingkah laku individu dalam situasi pendidikan, yang meliputi
pula pengertian tentang proses belajar dan mengajar.
Secara garis
besar, umumnya batasan pokok bahasan psikologi pendidikan dibatasi atas tiga
macam[3]:
1.
Mengenai
belajar, yang meliputi teori-teori, prinsip-prinsip dan ciri khas perilaku
belajar peserta didik dan sebagainya.
2.
Mengenai
proses belajar, yakni tahapan perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam
kegiatan belajar peserta didik dan sebagianya.
3.
Mengenai
situasi belajar, yakni suasana dan keadaan lingkungan baik bersifat fisik
maupun non fisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar peserta didik.
Sementara
menurut Samuel Smith, setidaknya ada 16 topik yang perlu dibahas dalam
psikologi pendidikan, yaitu :
1.
Pengetahuan
tentang psikologi pendidikan (The science of educational psychology)
2.
Hereditas
atau karakteristik pembawaan sejak lahir (heredity)
3.
Lingkungan
yang bersifat fisik (physical structure).
4.
Perkembangan
siswa (growth).
5.
Proses-proses
tingkah laku (behavior proses).
6.
Hakikat
dan ruang lingkup belajar (nature and scope of learning).
7.
Faktor-faktor
yang memperngaruhi belajar (factors that condition learning)
8.
Hukum-hukum
dan teori-teori belajar (laws and theories of learning).
9.
Pengukuran,
yakni prinsip-prinsip dasar dan batasan-batasan pengukuran/ evaluasi.
(measurement: basic principles and definitions).
10.
Tranfer
belajar, meliputi mata pelajaran (transfer of learning subject matters)
11.
Sudut-sudut
pandang praktis mengenai pengukuran (practical aspects of measurement).
12.
Ilmu
statistic dasar (element of statistics).
13.
Kesehatan
rohani (mental hygiene).
14.
Pendidikan
membentuk watak (character education).
15.
Pengetahuan
psikologi tentang mata pelajaran sekolah menengah. (Psychology of secondary
school subjects).
16.
Pengetahuan
psikologi tentang mata pelajaran sekolah dasar (psychology of elementary
school).
Dalam proses
belajar-mengajar dapat dikatakan bahwa ini inti permasalahan psikiologis
terletak pada anak didik. Bukan berarti mengabaikan persoalan psikologi seorang
pendidik, namun dalam hal seseorang telah menjadi seorang pendidik maka ia
telah melalui proses pendidikan dan kematangan psikologis sebagai suatu
kebutuhan dalam mengajar. Penguasaan guru tentang psikologi pendidikan
merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru, yakni kompetensi
pedagogik. Muhibbin Syah (2003) mengatakan bahwa “diantara
pengetahuan-pengetahuan yang perlu dikuasai guru dan calon guru adalah
pengetahuan psikologi terapan yang erat kaitannya dengan proses belajar
mengajar peserta didik”
Guru dalam
menjalankan perannya sebagai pendidik bagi peserta didiknya, tentunya dituntut
memahami tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang
yang terkait dengan tugasnya, terutama perilaku peserta didik dengan segala
aspeknya, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang
pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan
pendidikan di sekolah.
Dengan
memahami psikologi pendidikan, seorang guru melalui pertimbangan – pertimbangan
psikologisnya diharapkan dapat :
1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara
tepat.
Dengan
memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih
tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai
tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom
tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori
perkembangan individu.
2. Memilih strategi atau metode pembelajaran
yang sesuai.
Dengan
memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan
strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu
mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat
perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan
memberikan konseling.
Tugas dan
peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat
membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya
diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar,
melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar
peserta didik.
Memfasilitasi
artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa,
seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan
berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu,
khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai,
tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai
fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas
pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan
pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat
menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa
dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
6. Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
Pemahaman
guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi
dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang
menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman
guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan
penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian,
pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.
BAB III
PENUTUP
Sebagi objek sasaran dalam
proses belajar mengajar adalah anak didik sebagai manusia individu yang
memiliki perilaku, karakteristik dan kemampuan yang berbeda satu sama lain,
maka dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik perlu memperhatikan faktor
psikologi karena pendidikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang
diperolah melalui belajar mengajar, tidak dapat dipisahkan dari psikologi.
Guru sebagai pendidik/pengajar
menjadi subjek yang mutlak harus memiliki pengetahuan psikologi sehingga proses
belajar mengajar bisa berjalan dengan baik, setidaknya dalam meminimalisir
kegagalan dalam menyampaikan mataeri pelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Post a Comment