MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM
BIOGRAFI KHOLIFAH ALI BIN ABI THOLIB
Di Susun oleh :
Hidayatur Rohman
Pembimbing
H. Ali Mas’ad, M.Pd.I
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH TARUNA
SURABAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah Puji syukur kepada
Allah S.W.T yang telah memberikan nikmat-nikmatnya, serta memberikan ilmu
pengetahuan. Sehingga penulis bisa menyelesaikan sebuah makalah tentang salah
satu sahabat rasulullah saw, khulafaur rasyidin yaitu khalifah Ali bin Abi
Thalib.
Shalawat dan salam semoga tetap
selalu tercurah dan terlimpah kepada seorang manusia biasa yang mempunyai
akhlaq yang sangat mulia, yaitu nabi Muhammad saw, kepada keluarga , sahabat,
serta pengikutnya yang istiqomah menjalankan sunnah-sunnahnya dari dulu,
sekarang, hingga hari pembalasan.Allahumma salli ‘ala Muhammad.
Selesainya makalah ini, tentunya
tidak lepas dari bimbingan dosen H. Ali Mas’ad, M.Pd.I serta keluarga yang
selalu mendukung, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada mereka.
Makalah ini dibuat secara ringkas,
namun mudah-mudahan tidak mengurangi sejarah aslinya. Pada kesempatan yang baik
ini penulis mengangkat tentang profil Ali bin Abi Thalib, beberapa keutamaan
Ali bin Abi Thalib, kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, memerangi khawarij,
syahidnya Ali bin Abi Thalib, serta beberapa perkataan hikmah Ali bin Abi
Thalib.
Semoga makalah ini memberikan ilmu
yang bermanfaat bagi penulis khususnya, dan memberikan banyak manfaat kepada
pembaca pada umumnya. Sesuai dengan sabda rasulullah saw. “Sebaik-baik diantara
manusia sekalian, ialah orang yang memberi manfaat kepada orang lain”.
Surabaya, 17 Januari 2015
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin
merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama
menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin
atau khalifah yang memperoleh petunjuk
tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula
para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak
ulama dapat diberi gelar khulafaur
rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz,
khalifah Bani Umayyah ke-8.
Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء
الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai
penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat. Empat
orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad yang tercatat paling dekat
dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan
Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya,
melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal
tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada
rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi
kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut paham Syi’ah meyakini bahwa Muhammad dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib,
khalifah ke-4 bahwa Muhammad menginginkan keturunannyalah yang akan meneruskan
kepemimpinannya atas umat Islam, mereka merujuk kepada salah satu Hadits Ghadir Khum.
Setelah Utsman wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah
hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para
gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara
orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
B. Tujuan
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini adalah
1. Mengetahui biografi Ali bin Abi Thalib.
2. Mengetahui dinamika pemilihan Ali bin Abi
Thalib sebagai Khalifah.
3. Mengetahui kondisi islam dan kaum muslimin
masa khalifahan Ali bin Abi Thalib.
4. Mengetahui berbagai peristiwa masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kelahiran Khalifah Ali Bin Abi
Thalib
Imam Ali r.a dilahirkan
hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah, Sepanjang ingatan orang,
inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah.
Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar
biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong- bondonglah
mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi
yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini
saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian
bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Pemuka-pemuka Quraisy diundang mengunjungi pesta itu,
sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu
Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru
lahir. "Ali" berarti "luhur". Sesungguhnya, sebelum
berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama "Ali"
bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama "Haidarah",
yang berarti "Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama
Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti "Singa". Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi
nama "Haidarah" ialah orang-orang Quraisy. Tetapi sejarah membuktikan,
bahwa nama "Haidarah" itu sesungguhnya pemberian ibunya sendiri.
Bukti sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa
perang-tanding, seorang lawan seorang, antara Imam Ali r.a. melawan Marhaban.
Dalam perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri engan bait syairnya:
"Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a.
segera menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: "Aku
inilah yang diberi nama Haidarah oleh ibuku!" Hanya saja nama yang
diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya dalam pesta
walimah, yaitu "Ali". Ia lebih
terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a.
pernah diberi julukan "Abu Turab", yang artinya "Si Tanah".
Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a.
di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi
Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil
mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad
s.a.w. membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai Abu
Turab!" Nama Abu Turab ini paling
disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. [1]
2. Dinamika Pemilihan Ali Bin abi
Thalib Sebagai Khalifah
Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam
Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum
Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap
cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru.
Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri
orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin
Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid.
Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang
paling mustahak dibai'at. Diantara
mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin
Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur
karena kaum Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a.
[1] H.M.H. Al
Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Ali Bin Abi Thalib ra, (Jakarta :
Lembaga Penyelidikan Islam, 1981), h. 6-7
Kepada kaum
Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak mengkesampingkan kepentingan
mereka sendiri, maka yang paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib
sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia
pun orang yang paling dini memeluk Islam. Kepada kaum Muhajirin, Ammar
mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi Thalib. Oleh karena
itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi.
Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi
tugas itu! Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang
hadir. Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang
satu-satunya orang yang paling afdhal!" Setelah tercapai kata sepakat,
semua yang hadir berdiri serentak, kemudian
berangkat bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a.
Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan mendesak
agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang berteriak
agar ia bersedia mengulurkan tangan
sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin. Pada mulanya
Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia
menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu daripada menjadi
seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan
kuterima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang
menggoncangkan hati dan fikiran." Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu
tak dapat diterima sebagai alasan oleh banyak kaum muslimin yang waktu itu
datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya
Imam Ali r.a. bersedia dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap
mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan
pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat
Islam, jika kekhalifahan jatuh ketangan orang lain…"
Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling
tukar pendapat antara Imam Ali r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad
s.a.w. dan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya
masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi
kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam
Ali r.a. tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan
menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat. Baru setelah Imam Ali
r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan pimpinannya,
dengan perasaaan berat ia menyatakan
kesediaannya untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang
mendorong Imam Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan
persatuan dan kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas
terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah s.a.w., membuatnya siap
menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak
pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a.
benar-benar merupakan tantangan besar yang harus ditanggulangi.
Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai
Amirul Mukminin disambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar
kaum muslimin. Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan
di masjid agar dapat disaksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga
memperingatkan, jika sampai ada seorang saja yang menyatakan terus terang tidak
menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia dibai'at. Mereka dapat menyetujui
permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju masjid. Setibanya di
Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya ialah Thalhah.
Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang
bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir,
jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna!" Ia mengucapkan
tanggapannya itu karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan
komentar itu lewat begitu saja. Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak
Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum
Muhajirin dan Anshar menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut
menyatakan bai'at ialah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin
Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin
Malik. Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana yang lazim
berlaku atas diri Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa
itu, sesaat setelah dibai'at
Amirul Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya yang
pertama. Antara lain mengatakan:
"Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja
seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak dan
kewajiban. Hendaknya kalian menyadari, bahwa ujian telah datang dari Allah
s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah datang mendekati kita seperti datangnya
malam yang gelap-gulita. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengelak dan
menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali mereka yang sabar dan
berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan bantuan dan perlindungan.
"Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah
s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya. Dalam
hal itu janganlah kalian bertindak
tergesa-gesa,
sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan. "Ketahuilah bahwa
Allah s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak
merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah
mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau
pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari
kiyamat kelak akan diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan
membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah akan
menyelamatkannya karena keadilannya. Jika waliy itu seorang yang dzalim,
jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya
orang itu akan jatuh ke dalam api neraka…" [2]
[2] Ibid, h. 83-85
3. Kondisi Islam dan Kaum Muslimin
Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Kholifah
Ali bin Abi Thalib melaksanakan langkah-langkah yang dapat dianggap sebagai
prestasi yang telah dicapai .
a.
Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap.
Kholifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah pemerintahan yang
efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat
yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata
banyak yang berasal dari keluarga Kholifah Usman bin Affan ( Bani Umayah ).
Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah yang tidak menyukai Kholifah
Ali bin Abi Thalib.
b.
Membenahi Keuangan Negara ( Baitul Mal )
Setelah mengganti para pejabat
yang kurang cakap, Khalifah Ali bin Abi Tahlib kemudian menyita harta para
pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak benar. Harta tersebut
kemudian disimpan di Baitul Mal dan digunakan untuk kesejahteraan
rakyat.
c.
Memajukan Bidang Ilmu Bahasa.
Pada saat Kholifah Ali bin Abi Thalib memegang pemerintahan , Wilayah
Islam sudah mencapai India. Pada saat itu , penulisan huruf hijaiyah belum
dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dhommah dan syaddah. hal
itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks Al-Qur'an dan Hadits di
daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab.
Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan Al-Qur'an dan Hadits.
Kholifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan
pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajarai tata bahasa
Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non
Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran islam, yaitu Al-Qur'an dan
Hadits.
d.
Bidang Pembangunan
Salah satu
pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi Thalib
adalah pembangunan Kota Kuffah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan sebagai
pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi , Kota
Kufah kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadits,ilmu
nahwu dan ilmu pengetahuan lainya.
Pada waktu itu , perselisihan antara pendukung Kholifah Ali bin Abi
Thalib dan Mua'wiyah bin Abu Sufyan makin membesar. Perselisihan itulah yang
menjadi awal berakhirnya pemerintahan Islam dibawah Khulafaur Rasyidin.
meskipun memiliki kelemahan-kelemahan, para ahli sejarah menyatakan bahwa
pemerintahan Islam masa Khulafaur Rasyidin merupakan masa pemerintahan Islam
yang paling mendekati masa pemerintahan Rasulullah saw.[3]
4. Berbagai Peristiwa Masa
Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib
Politik Ali bin Abi Talib
Menurut
pendapat Ali bin Abi Talib wali-wali yang diangkat Khalifah Utsman tidak layak
dan cakap mengurus masalah ummat Islam. Maka sekalipun kedudukannya sebagai
khalifah belum kuat dan kokoh, niatnya telah tetap akan memberhentikan para
wali itu. Beberapa sahabat memberi peringatan kepada Ali agar dia membatalkan
niatnya itu. Akan tetapi dia tidak mau mundur barang setapak, niatnya itu
dilaksanakan.
Perpecahan ummat Islam
Oleh
karena siasat Ali yang sedemikian itu, maka ummat Islam menjadi retak, ummat
Islam pecah menjadi tiga golongan (partai), yaitu 1.Golongan pendukung Ali bin
Abi Talib, 2. Ummat yang menuntut atas kematian Utsman bin Affan, mereka
dikepalai oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 3. Yang tidak setuju dengan tuntutan
Mu’awiyah dan tidak setuju dengan pengangkatan Ali, mereka dipimpin oleh
Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah.
Perang Unta
Khalifah
Ali bin Abi Talib telah memecat Mu’awiyah dari jabatannya. Akan tetapi di tidak
mempedulikan pemecatannya itu, melainkan ia tetap memegang jabatannya sebagai
wali Syam. Maka Ali bin Abi Talib menyiapkan pasukan untuk memeranginya. Akan
tetapi ketika ia akan berangkat ke Syam datanglah berita bahwa orang Makkah
telah keluar dari kelompok Ali, mereka dikepalai oleh Thalhah, Zubair dan
‘Aisyah. Mereka telah menduduki kota Bashrah dengan tentara besar yang dipimpin
oleh ‘Aisyah pada tahun 36 H. (567 M.)
Mendengar
berita yang demikian itu, Ali mengurungkan maksudnya untuk menyerang Syam, dan
dengan segera ia beserta laskarnya berangkat ke kota Kufah, kemudian terus ke
Bashrah dengan membawa tentara 200.000 orang.
[3]
Darsono. T Ibrahim .Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam/VII
Di
Bashrah ia bertemu dengan tentara ‘Aisyah, lalu terjadilah pertempuran yang
terkenal dengan Waqi’atul Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian, karena
‘Aisyah yang memimpin pasukan menunggang unta.
Dalam
peperangan ini Ali memperoleh kemenangan. Thalhah dan Zubair terbunuh dan
‘Aisyah ditawan. Akan tetapi ia tidak diperlakukan oleh Ali sebagai tawanan,
melainkan dihormati dan dimuliakan, lalu dipulangkan ke Makkah, serta
dinasehatinya agar dia tidak lagi mencampuri politik negara.
Bani Hasyim dan Bani Umayyah
Perang
Unta telah usai, Ali memperoleh kemenangan, sedangkan ‘Aisyah tidak lagi
mencampuri urusan politik negara. Akan tetapi perselisihan antara sesama ummat
Islam belum berakhir, karena masih ada dua golongan yang bertentangan, yaitu
parta Ali dari keluarga bani Hasyim dan partai Mu’awiyah pemimpin keluarga Bani
Umayyah.
Partai
Bani Umayyah menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan atas Utsman bin Affan. Oleh
karena itu perselisihan timbul kembali antara keluarga bani Hasyim dan Bani
Umayyah sebagaimana paa masa Jahiliah dahulu.
Perbedaan
antara Laskar Ali dan Laskar
Mu’awiyah
Antara
laskar Ali dan laskar Mu’awiyah besar sekali perbedaannya. Mu’awiyah yang telah
dua puluh tahun lamanya memerintah di Syam sebagai wali propinsi, dapat menarik
hati penduduk negeri itu dengan kemurahan dan kecerdikannya, sehingga ia
berkuasa besar dalam wilayah itu dan tak ada seorang penduduk Syam yang mau
menyangkal perintahnya. Hal ini bukan karena takut kepada Mu’awiyah, tapi
karena sayang dan cinta mereka kepadanya. Dan lagi sifat dan tabi’at orang Syam
yang cinta akan peraturan dan patuh kepada undang-undang, menjadi satu
pertolongan besar bagi Mu’awiyah, dalam usahanya melaksanakan apa yang
diinginkannya.
Sedangkan
laskar Ali sebagian besar terdiri dari bangsa Badwi yang masih membenci
peraturan, dan enggan tunduk dibawah undang-undang.
Perang Seffein
Khalifah
Ali mendengar kabar bahwa Mu’awiyah telah bersiap lengkap akan memeranginya.
Oleh kerana itulah Ali bersegera mengerahkan pasukannya untuk menghadapi
serangan musuhnya itu di Siffein. Di Siffein di tempat sebelah barat sungai
Euphrat, laskar Ali bertemu dengan laskar Mu’awiyah, lalu terjadilah
pertempuran dahsyat antara kedua laskar tersebut, pertempuran ini terjadi
selama 40 hari. Dalam pertempuran itu pihak Ali hampir memperoleh kemenangan,
sedangkan Mu’awiyah sudah berfikir hendak melarikan diri. Akan tetapi karena
tipu daya Amru bin al-‘Ash yang berperang dipihak Mu’awiyah, maksud pelariannya
itu diurungkanlah oleh Mu’awiyah. Kemudian ‘Amru bin al-‘Ash menyuruh laskarnya
menusuk Mushaf (Qur’an) dengan ujung lembingnya, lalu dinaikkan sebagai tanda
hendak berdamai dengan tunduk kepada al-Qur’an.
Tentara Ali tertipu
Melihat
hal ini tentara Ali terperdaya, lalu mereka mendesak Ali untuk menghentika
perang, Ali bersikukuh hendak melanjutkan peperangan karena ia yakin perdamaian
Mu’awiyah hanyalah tipu daya belaka, namun pasukannya selalu mendesaknya untuk
berdamai, terpaksalah Ali mengikuti kemauan kebanyakan pasukannya.
Setelah
kedua belah pihak sepakat mengadakan majlis tahkim yang akan memutuskan
perselisihan itu, Ali mundur dengan tentaranya ke Kufah dan laskar Mu’awiyah
mundur ke Syam.
Dalam
perdamaian yang akan diadakan itu, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari
seorang tua yang lurus hati, dan pihak Mu’awiyah diwakili oleh ‘Amru bin
al-‘Ash seorang ahli siasat Arab yang terkenal licin.
Korban perang Siffein
Dalam
pertempuran Siffein dimana kedua belah pihak bertemu di laga sampai 90 kali,
menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Di pihak laskar Ali gugur
25.000 orang dan dari pihak laskar Mu’awiyah 45.000 orang.
Setelah
Ali mengundurkan sentaranya ke Kufah, sebagian pengikutnya mendurhakainya, kaum
pendurhaka itu dikenal dengan parti Khawarij (partai yang keluar dari golongan
Ali).
Sebat
timbulnya pendurhakaan itu adalah karena mereka berpendapat bahwa Ali melakukan
kesalahan besar tentang pemberhentian perang dan menerima tahkim, sedang dia
hampir saja memperoleh kemenangan. Mereka mendesak Ali supaya meneruskan
peperangan, tetapi Ali tidak mau melanggar janji yang telah dibuatnya dengan
Mu’awiyah, walaupun hal itu selula tidak disetujuinya. Oleh karena itu kelompok
ini mengadakan perlawanan dan membuat keributan dan kerusakan dimana-mana.
Jumlah mereka kira-kira 12.000 orang.
Kaum
pendurhaka ini sebagian dapat ditindas oleh Ali dan yang sebagian yang lain
melarikan diri, dari mereka itulah timbul partai Khawarij kemudian, yaitu
golongan ummat Islam yang keras, yang tak mau tunduk dibawah kekuasaan Khalifah
manapun. Semboyan mereka adalah: ‘Kekuasaan hanyalah di tangan Tuhan’.
Hasil Tahkim
Setelah
datang waktu tahkim sesuai dengan perjanjian, para wali dari kedua belah pihak
berkumpul di Dumatul Jandal. Utusan Ali berjumlah 100 orang dikepalai oleh Abu
Musa al-Asy’ari dan utusan Mu’awiyah banyaknya juga 100 orang dikepalai oleh
‘Amru bin al-’Ash, sedang Mu’awiyah sendiri termasuk dalam jumlah 100 itu.
Dengan
tipu-daya yang licin ‘Amru bin al-’Ash dapat mengalahkan Abu Musa yang lurus
hati itu dalam persidangan majlis tahkim.
‘Amru
bin al-’Ash menerangkan kepada Abu Musa bahwa untuk menjadi dasar perundingan,
maka Ali dan Mu’awiyah diturunkan dari pangkat Khalifah. Sesudah itu soal
Khalifah diserahkan kepada ummat Islam dan kepada mereka diberikan kemerdekaan
seluas-luasnya tentang siapa yang akan mereka pilih menjadi Khalifah.
Keterangan
‘Amru bin al-’Ash ini diterima oleh Abu Musa dengan sejujur hatinya untuk
menjadi dasar perundingan. Di hari persidangan di Daumatul Jandal itu
(suatu tempat antara Irak dan Syam) diharapan beribu-ribu ummat Islam, maka
tertipulah Abu Musa oleh kelicikan politik ‘Amru bin al-’Ash.
Karena
menghormati ketinggian umur dan derajatnya, ‘Amru bin al-’Ash meminta kepada
Abu Musa untuk terlebih dahulu berdiri diatas mimbar, menerangkan dasar
perundingan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan ikhlas dan
jujur hati Abu Musa naik ke atas mimbar, lalu berpidato menerangkan bahwa untuk
kemaslahatan ummat Islam di dan ‘Amru bin al-’Ash telah sepakat untuk
memberhentikan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan Khalifah. Tentang pengangkatan
Khalifah yang baru diserahkan sepenuhnya kepada permusyawaratan ummat Islam.
Saya sebagai wakil dari pihak Ali dengan ikhlas dan jujur hati menurunkan Ali
dari kursi Khalifahnya”.
Kemudian
naik pula ‘Amru bin al-’Ash lalu berkata menerangkan, bahwa ia menerima dan
menguatkan keberhentian Ali itu, dan menetapkan Mu’awiyah dalam pangkatnya
sebagai Amirul Mu’minin.
‘Amru bin al-’Ash kembali menjadi wali Mesir
Karena
kepincangan hasil perdamaian di Daumatul Jandal itu, maka timbullah perang
saudara kembali. Dalam pada itu Mu’awiyah berusaha sekuat tenaga untuk
menundukkan wali-wali yang diangkat oleh Ali, ‘Amru bin al-’Ash dikirimnya ke
Mesir memerangi Muhammad bin Abu Bakar wali negeri dari pihak Ali. Muhammad
mati terbunuh dalam peperangan itu dan ‘Amru bin al-’Ash diangkat oleh
Mu’awiyah menjadi wali di negeri Mesir, menjabat jabatannya yang lama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Yang paling
terkenal pada masa Ali ini adalah terjadinya Tahkim antara Ali Bin Abi Thalib dengan Muawwiyah
Ibn Abi Sufyan . Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang
terkenal sangat jujur dan tidak “ cerdik” dalam politik yaitu Abu Musa Al
Asyari. Sebaliknya dari pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang
sangat terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik yaitu Amr ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan
oleh pihak Muawiyah Ibn Abi Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat
mengalahkan Abu Musa Al Asyari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, kemudian terpecah
menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa
menghadapi hasil Tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib,
sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak hasil Tahkim dan
kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan
perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam Tahkim, termasuk Ali Ibn
Abi Thalib.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono. T Ibrahim
.Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam/VII
H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Sejarah Hidup Ali
Bin Abi Thalib ra, (Jakarta : Lembaga
Penyelidikan Islam, 1981), h. 6-7
Ibid,
h. 83-85
www. Sejarah Dunia Islam Masa Khalifah Keempat. ALI BIN ABI THALIB _ Pondok Pesantren Darunnajah Cipining
Bogor.html.diakses pada tanggal
24
April 2013
www.Makalah
Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib by Burhannudin FEKON uniska bjm
Web Burhannudin.html.diakses pada tanggal 24 April 2013
Post a Comment