MAKALAH PERENIALISME

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Filsafat merupakan ilmu yang sangat luas cakupan dan keberadaannya. Dalam pendidikan, dikenal pula filsafat pendidikan. Melalui filsafat pendidikan tersebut, pelaksanaan sistem pendidikan dan permasalahannya dikaji melalui pandangan filsafat. Keberadaan filsafat dalam pendidikan sangat diperlukan, demi keberlangsungan pendidikan sendiri. Manfaatnya juga berdampak positif bagi pelaksanaan pendidikan.Salah satu aliran filsafat pendidikan adalah perenialisme. Berdasar pada teori Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina, filsafat yang lahir pada abad-20 ini memiliki pandangan yang berbeda dengan filsafat pendidikan yang lainnya. Masing-masing filsafat pendidikan memang memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan corak dan ajaran filsafat yang mendasarinya. Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PERENIALISME
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Aliran ini lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang artinya abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan demikian, esensi kepercayaan filsafat perenial ialah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya Perenialisme berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Dalam sejarah peradaban manusia dikenal sejumlah gagasan besar  yang tetap menjadi rujukan sampai kapan pun juga.
Aliran ini mengikuti paham realisme yang sejalan dengan aristoteles bahwa manusia itu rasional. Sekolah adalah lembaga yang didisain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Akar filsafat ini datang dari gagasan besar plato dan aristoteles dan kemudian dari Thomas Aquinas.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.

B.     PENDAPAT TOKOH MENGENAI KONSEP FILSAFAT
Pandangan para tokoh mengenai perenialisme yaitu :
1.      Plato

Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.

2.     
Aritoteles 

Aritoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berfikir rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Arithoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.

3.     
Thomas Aquina


Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu  pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aritoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptekan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitannya, yaitu :

·         Dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan
·         Penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja, demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama dengan neotonisme dalam pendidikan.

C.    PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME MENGENAI MANUSIA DAN NILAI KEHIDUPAN
1.      Pandangan Mengenai Manusia
Secara umum, kalangan perenialisme menganggap manusia memiliki kesamaan dengan dunia hewan. Hal yang membuat berbeda adalah manusia mempunyai kecerdasan rasional yang dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol apa yang diinginkan dan dilakukannya. Aristoteles mengemukakan bahwa manusia adalah hewan rasional, kalangan perenial menerima hal ini.Kalangan perenialis amat mengutamakan pada pendidikan sisi rasional manusia. Hutchins menuliskan bahwa “adalah suatu hal esensial untuk menjadi manusia dan suatu hal esensial pula belajar mempergunakan akal pikiran.” Setelah seseorang mengembangkan akal pikirnya, ia akan dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol nafsu dan syahwatnya.
2.      Pandangan Mengenai Nilai Kehidupan
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai kehidupan adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai kehidupan yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar-dasar teologis, ketuhanan.

D.    PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME TERHADAP PENDIDIKAN
Prinsip dasar pendidikan bagi aliran perenialisme adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Kebenaran ini hanya dapat diperoleh hanya dapat diperoleh melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematis sedemikian rupa. Dalam filsafat pendidikan Islam kebenaran abadi seperti ini tidak hanya didapat melalui latihan intelektual, tapi bahkan lebih penting yaitu latihan intuisi atau zauq.
Aliran perenialisme meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah sumber kebenaran, sebenarnya kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelenggaraan pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar peserta didik dapat menyesuaikan diri bukan hanya pada kebenaran dunia saja, tetapi hendaknyalah kepada hakikat-hakikat kebenaran.
Di samping itu proses pendidikan tidak hanya transfer ilmu tetapi juga tranformasi ilmu dan internalisasi nilai. Prinsip-prinsip dasar seperti ini yang kemudian dikembangkan oleh Sayyed Husein Nasr, filosof Islam kontemporer yang mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang fitri yang berkonsekuensi pada watak kesucian dan kebaikan, sifatnya tidak akan pernah berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu.
Program pendidikan yang ideal menurut perenialisme adalah berorientasi pada potensi dasar agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Pandangan aliran di atas ada kesamaan dengan pendidikan Islam karena Islam mengakui adanya potensi dasar yang dimiliki manusia semenjak dilahirkan yang dikembangkan melalui proses pendidikan.
Makna hakiki dari belajar, menurut aliran ini adalah belajar untuk berpikir. Dengan cara melatih berpikir, subjek didik akan memiliki senjata ampuh untuk menghadapi berbagai rintangan yang akan menurunkan martabat kemanusiaannya. Tugas seorang subjek didik adalah mempelajari karya dalam berbagai literatur filsafat, sejarah dan sains, sehingga dengan demikian ia berkenalaan dengan berbagai prestasi di masa lalu menuju pembentukan pemikiran yang akan mengisi kehidupannya dalam meembangun prestasi-prestasinya pula.
Perenialisme membedakan belajar kepada dua wilayah besar, yaitu wilayah pengajaran dan wilayah penemuan. Yang pertama, belajar memerlukan bantuan guru. Guru dalam hal ini memberikan pengetahuan dan pencerahan keada subjek didik, baik dengan cara menunjukkan maupun menafsirkan implikasi dari pengetahuan yang diberikan. Sedangkan yang kedua, tidak lagi membutuhkan guru, karena subjek didik dalam pola ini diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya sendiri.
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1.      Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2.      Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)
3.      Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

E.     PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan dengan bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh manusia.
           Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rector the University of Chicago, Hutchin (1963) menegembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitan terhadap Buku besar bersejarah (Great Book) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan :
1.      Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu
2.      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan – gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan- gagasan . pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan
3.      Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasan – gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metoda pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
Sedangkan pandangan – pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan.
1.      Pendidikan Dasar dan Menengah
a)      Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang “education as preparation”. Dewey dan tokoh – tokoh Progresivisme yang lain menolak pandangan bahwa sekolah (pendidikan) adalah persiapan untuk kehidupan. Tetapi Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di dalam masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan.
b)      Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan mencegah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program, “general education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun.




2.      Pendidikan Tinggi dan Adult Education
a)      Kurikulum Universitas
Program “general education” dipersiapkan untuk pendidikan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi pada prinsipnya diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual yang disebut “The intellectual love of good”.
b)      Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa
Tujuan pendidikan orang dewasa ialah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh – pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana, guna merenorganisasi pendidikan anak – anaknya, dan membina kebudayaannya. Malahan Hutchins mengatakan, pendidikan orang dewasa adalah jalan menyelamatkan kehidupan bangsa – bangsa.

F.     PANDANGAN PERENIALISME TERHADAP METODE PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Metode pembelajaran pada intinya berfokus pada proses belajar. Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, metode pembelajaran haruslah mengarah kepada tuntunan tersebut. Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:
1.      Mental Disiplin sebagai Teori Dasar
Menurut Perenialisme sependapat latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena program pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.


2.      Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya dari makhluk yang lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk rasional yang bersifat merdeka.
3.      Leraning to Reason (belajar untuk berpikir)
Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir. Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
4.      Belajar sebagai persiapan hidup
Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata – mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti pula guna memenuhi fungsi practical philosophy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni.
5.      Learning through teaching (belajar melalui pengajaran)
Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensiself discovery, dan ia melakukan otoritas moral atas murid – muridny, karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan dengan murid – muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih
Guru mengembangkan potensi-potensi self discovery ; dan ia melakukan moral authority atas murid-muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Perenialisme berasal dari kata perennial yang artinya abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan demikian, esensi kepercayaan filsafat perenial ialah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya Perenialisme berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Dalam sejarah peradaban manusia dikenal sejumlah gagasan besar  yang tetap menjadi rujukan sampai kapan pun juga.
Aliran perenialisme meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah sumber kebenaran, sebenarnya kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelenggaraan pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar peserta didik dapat menyesuaikan diri bukan hanya pada kebenaran dunia saja, tetapi hendaknyalah kepada hakikat-hakikat kebenaran.
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Metode pembelajaran pada intinya berfokus pada proses belajar. Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental.








DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hamdani. 1986. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang
Chaedar Alwasilah. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
M. Djumransjah. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing
Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Sumber lain:
Wulan Ghisya. 2009. Aliran Pendidikan Perenialisme.http://wulanghisya. blogspot. com/ 2009/01/aliran-pendidikan-perenialisme.html. Diunduh pada tanggal 11 oktober 2011.
Kukuh Sila Utama. 2009. Aliran Perernialisme dalam Pendidikan. http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-perenialisme-dalam-pendidikan/. Diunduh pada tanggal 11 oktober 2011.

Saklus, Herdi. 2008. Aliran – aliran pendidikan.      http://herdisaksul.wordpress.com/2008/06/17/aliran-aliran-pendidikan/

Post a Comment

[blogger]

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget