BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Filsafat merupakan ilmu yang sangat luas cakupan dan keberadaannya.
Dalam pendidikan, dikenal pula filsafat pendidikan. Melalui filsafat pendidikan
tersebut, pelaksanaan sistem pendidikan dan permasalahannya dikaji melalui
pandangan filsafat. Keberadaan filsafat dalam pendidikan sangat diperlukan,
demi keberlangsungan pendidikan sendiri. Manfaatnya juga berdampak positif bagi
pelaksanaan pendidikan.Salah satu aliran filsafat pendidikan adalah
perenialisme. Berdasar pada teori Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina,
filsafat yang lahir pada abad-20 ini memiliki pandangan yang berbeda dengan
filsafat pendidikan yang lainnya. Masing-masing filsafat pendidikan memang
memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan corak dan ajaran filsafat yang
mendasarinya. Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis
diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk
mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar
yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal
dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak
mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan
tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu
kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau
ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme
karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu
dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PERENIALISME
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Aliran ini lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme
memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio
kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan
tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang
artinya abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan demikian,
esensi kepercayaan filsafat perenial ialah berpegang pada nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial
budaya Perenialisme berarti everlasting,
tahan lama atau abadi. Dalam sejarah peradaban manusia dikenal sejumlah gagasan
besar yang tetap menjadi rujukan sampai
kapan pun juga.
Aliran ini mengikuti paham realisme yang
sejalan dengan aristoteles bahwa manusia itu rasional. Sekolah adalah lembaga
yang didisain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogianya diajari gagasan
besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Akar
filsafat ini datang dari gagasan besar plato dan aristoteles dan kemudian dari
Thomas Aquinas.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum
perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dalam pendidikan, kaum
perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh
kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada
kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik.
B. PENDAPAT
TOKOH MENGENAI KONSEP FILSAFAT
Pandangan para tokoh mengenai
perenialisme yaitu :
1.
Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman
kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran
kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah manusia secara pribadi,
sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian
dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan
bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau
kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang
berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari
ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum
manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak
mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral,
melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan
rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
2.
Aritoteles
Aritoteles
Aritoteles (384-322 SM), adalah
murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya,
yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik).
Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan
berfikir rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional
empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang
lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Arithoteles hidup pada abad keempat
sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan.
Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad pertengahan yang
melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry menyebabkan ia
mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan
kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenuangan
pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles, manusia adalah
makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia
dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk
rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju
kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki
kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan
menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam
supernatural.
3.
Thomas Aquina
Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan
suatu pertentangan yang muncul pada
waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan
filsafat Aritoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis
adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus.
Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat
Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam
lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus menerus dan tanpa
ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia
mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptekan oleh
Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam
menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir
dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam
ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam
pemikiran tentang realitannya, yaitu :
·
Dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan
·
Penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja, demikian
menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas
Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia
luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang
bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan melalui
pengalaman dan rasionya (di sinilai ia mempertemukan pandangan filsafat
idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut
tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan
neotonisme. Perenialisme adalah sama dengan neotonisme dalam pendidikan.
C. PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME MENGENAI
MANUSIA DAN NILAI KEHIDUPAN
1.
Pandangan Mengenai Manusia
Secara umum, kalangan perenialisme menganggap manusia memiliki kesamaan
dengan dunia hewan. Hal yang membuat berbeda adalah manusia mempunyai
kecerdasan rasional yang dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol apa yang
diinginkan dan dilakukannya. Aristoteles mengemukakan bahwa manusia adalah
hewan rasional, kalangan perenial menerima hal ini.Kalangan perenialis amat
mengutamakan pada pendidikan sisi rasional manusia. Hutchins menuliskan bahwa
“adalah suatu hal esensial untuk menjadi manusia dan suatu hal esensial pula
belajar mempergunakan akal pikiran.” Setelah seseorang mengembangkan akal
pikirnya, ia akan dapat menggunakan nalarnya untuk mengontrol nafsu dan
syahwatnya.
2. Pandangan
Mengenai Nilai Kehidupan
Perenialisme
berpandangan bahwa persoalan nilai kehidupan adalah persoalan spiritual, sebab
hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan
pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara
teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai kehidupan yang
merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus
berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung nilai
kepraktisan.
Menurut Aristoteles,
kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan
moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan
dasar dari kebajikan intelektual.
Jadi, kebajikan intelektual
dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh
pertimbangan dan pengawasan akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan
kedalam filsafat praktis. Kesenian sebagai salah satu sumber kenikmatan
keindahan adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis.
Hal ini berarti bahwa di dalam mempersoalkan masalah keindahan harus berakar
pada dasar-dasar teologis, ketuhanan.
D. PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME TERHADAP
PENDIDIKAN
Prinsip
dasar pendidikan bagi aliran perenialisme adalah membantu peserta didik
menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenarannya
mengandung sifat universal dan tetap. Kebenaran ini hanya dapat diperoleh hanya
dapat diperoleh melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya
teratur dan tersistematis sedemikian rupa. Dalam filsafat pendidikan Islam
kebenaran abadi seperti ini tidak hanya didapat melalui latihan intelektual,
tapi bahkan lebih penting yaitu latihan intuisi atau zauq.
Aliran
perenialisme meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang
kebenaran abadi. Pengetahuan adalah sumber kebenaran, sebenarnya kebenaran
selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelenggaraan
pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola
agar peserta didik dapat menyesuaikan diri bukan hanya pada kebenaran dunia
saja, tetapi hendaknyalah kepada hakikat-hakikat kebenaran.
Di
samping itu proses pendidikan tidak hanya transfer ilmu tetapi juga tranformasi
ilmu dan internalisasi nilai. Prinsip-prinsip dasar seperti ini yang kemudian
dikembangkan oleh Sayyed Husein Nasr, filosof Islam kontemporer yang mengatakan
bahwa manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya
yang fitri yang berkonsekuensi pada watak kesucian dan kebaikan, sifatnya tidak
akan pernah berubah karena prinsip-prinsipnya mengandung kontinuitas dalam
setiap ruang dan waktu.
Program
pendidikan yang ideal menurut perenialisme adalah berorientasi pada potensi
dasar agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.
Pandangan aliran di atas ada kesamaan dengan pendidikan Islam karena Islam
mengakui adanya potensi dasar yang dimiliki manusia semenjak dilahirkan yang
dikembangkan melalui proses pendidikan.
Makna
hakiki dari belajar, menurut aliran ini adalah belajar untuk berpikir. Dengan
cara melatih berpikir, subjek didik akan memiliki senjata ampuh untuk
menghadapi berbagai rintangan yang akan menurunkan martabat kemanusiaannya.
Tugas seorang subjek didik adalah mempelajari karya dalam berbagai literatur
filsafat, sejarah dan sains, sehingga dengan demikian ia berkenalaan dengan
berbagai prestasi di masa lalu menuju pembentukan pemikiran yang akan mengisi
kehidupannya dalam meembangun prestasi-prestasinya pula.
Perenialisme
membedakan belajar kepada dua wilayah besar, yaitu wilayah pengajaran dan
wilayah penemuan. Yang pertama, belajar memerlukan bantuan guru. Guru dalam hal
ini memberikan pengetahuan dan pencerahan keada subjek didik, baik dengan cara
menunjukkan maupun menafsirkan implikasi dari pengetahuan yang diberikan.
Sedangkan yang kedua, tidak lagi membutuhkan guru, karena subjek didik dalam
pola ini diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya sendiri.
Beberapa
pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1.
Program pendidikan yang ideal harus didasarkan
atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)
2.
Perkemhangan budi merupakan titik pusat
perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya (
Aristoteles)
3.
Pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas
Aquinas)
E. PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME TENTANG
KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum menurut kaum perenialis
harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk
menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan dengan bidang
seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh manusia.
Dua dari pendukung filsafat
perenialis adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rector
the University of Chicago, Hutchin (1963) menegembangkan suatu kurikulum
mahasiswa S1 berdasarkan penelitan terhadap Buku besar bersejarah (Great Book)
dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar
kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai
pendidikan :
1. Pendidikan harus mengangkat
pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun
akan selalu benar dimanapun juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat
waktu
2. Karena kerja pikiran adalah bersifat
intelektual dan memfokuskan pada gagasan – gagasan, pendidikan juga harus
memfokuskan pada gagasan- gagasan . pengolahan rasionalitas manusia adalah
fungsi penting pendidikan
3. Pendidikan harus menstimulus para
mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasan – gagasan signifikan.
Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metoda
pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
Sedangkan pandangan –
pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan.
1. Pendidikan Dasar dan
Menengah
a) Pendidikan sebagai
persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme
terutama pada sikapnya tentang “education as preparation”. Dewey dan tokoh –
tokoh Progresivisme yang lain menolak pandangan bahwa sekolah (pendidikan)
adalah persiapan untuk kehidupan. Tetapi Perenialisme berpendapat bahwa
pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di dalam masyarakat. Dasar pandangan
ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju
aktualitas, menuju kematangan.
b) Kurikulum Sekolah
Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa
pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan mencegah.
Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program, “general
education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun.
2. Pendidikan Tinggi dan
Adult Education
a) Kurikulum Universitas
Program “general education” dipersiapkan untuk
pendidikan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan
pendidikan menengah dengan program general education yang telah selesai
disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan
melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi pada prinsipnya
diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual yang disebut “The intellectual
love of good”.
b) Kurikulum Pendidikan
Orang Dewasa
Tujuan pendidikan orang dewasa ialah meningkatkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu,
menetralisir pengaruh – pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa
secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana, guna merenorganisasi
pendidikan anak – anaknya, dan membina kebudayaannya. Malahan Hutchins
mengatakan, pendidikan orang dewasa adalah jalan menyelamatkan kehidupan bangsa
– bangsa.
F. PANDANGAN PERENIALISME TERHADAP METODE
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
Metode pembelajaran pada intinya
berfokus pada proses belajar. Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut
Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, metode pembelajaran
haruslah mengarah kepada tuntunan tersebut. Teori dasar dalam belajar menurut
Perenialisme terutama:
1.
Mental Disiplin sebagai Teori Dasar
Menurut Perenialisme sependapat
latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam
belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena program pada umumnya
dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
2. Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus
menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna
mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk
dirinya sendiri yang membedakannya dari makhluk yang lain. Fungsi belajar harus
diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk
rasional yang bersifat merdeka.
3. Leraning to Reason (belajar untuk
berpikir)
Bagaimana tugas berat ini dapat
dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir. Perenialisme tetap percaya
dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan
membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan
pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah
menengah dan pendidikan tinggi.
4. Belajar sebagai persiapan hidup
Belajar untuk mampu berpikir
bukanlah semata – mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam
rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti pula guna
memenuhi fungsi practical philosophy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni.
5. Learning through teaching (belajar
melalui pengajaran)
Dalam pandangan Perenialisme, tugas
guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga
sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru
mengembangkan potensi – potensiself discovery, dan ia melakukan otoritas moral
atas murid – muridny, karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi
dan superior dibandingkan dengan murid – muridnya. Guru harus mempunyai
aktualitas yang lebih
Guru mengembangkan potensi-potensi self
discovery ; dan ia melakukan moral authority atas murid-muridnya, karena ia
adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan muridnya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perenialisme berasal dari kata perennial yang
artinya abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada akhir. Dengan demikian,
esensi kepercayaan filsafat perenial ialah berpegang pada nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial
budaya Perenialisme berarti everlasting,
tahan lama atau abadi. Dalam sejarah peradaban manusia dikenal sejumlah gagasan
besar yang tetap menjadi rujukan sampai
kapan pun juga.
Aliran
perenialisme meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang
kebenaran abadi. Pengetahuan adalah sumber kebenaran, sebenarnya kebenaran
selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelenggaraan
pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar
peserta didik dapat menyesuaikan diri bukan hanya pada kebenaran dunia saja,
tetapi hendaknyalah kepada hakikat-hakikat kebenaran.
Kurikulum menurut kaum perenialis
harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Metode
pembelajaran pada intinya berfokus pada proses belajar. Tuntutan tertinggi
dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hamdani. 1986.
Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota
Kembang
Chaedar Alwasilah.
2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
M. Djumransjah. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing
Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Sadulloh, Uyoh. 2004. Pengantar filsafat Pendidikan. Bandung
: Alfabeta
Sumber
lain:
Wulan Ghisya. 2009.
Aliran Pendidikan Perenialisme.http://wulanghisya. blogspot. com/
2009/01/aliran-pendidikan-perenialisme.html. Diunduh pada tanggal 11 oktober 2011.
Kukuh Sila Utama.
2009. Aliran Perernialisme dalam
Pendidikan. http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-perenialisme-dalam-pendidikan/. Diunduh pada tanggal 11 oktober 2011.
Saklus, Herdi. 2008. Aliran – aliran pendidikan.
http://herdisaksul.wordpress.com/2008/06/17/aliran-aliran-pendidikan/
Post a Comment