Manusia makhluk sosial yang mesti berinteraksi dengan sesamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri lalu bermasyarakat dan bertetangga. Kehidupan manusia tidak lepas dari hal-hal ini. Oleh karena itu ketika jiwa manusia dipenuhi ruh keimanan dan Islam sebagai wadah kehidupan seorang muslim, Islam mengajarkan umatnya untuk memelihara dan menghargai hak orang lain dalam pergaulan masyarakat. Akan tetapi peradaban modern yang tegak diatas materi tanpa memperdulikan makna dan akhlak yang mulia telah banyak menghilangkan hak-hak manusia, sehingga kita dapatkan sikap kekakuan dan ketidak pedulian akan alam sekitarnya. Hasilnya kehancuran dan kerusakan yang tidak henti-hentinya. Manusia bagaikan alat dan robot yang dirancang bekerja setiap hari untuk mencapai nilai materi duniawi.
Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan kebahagian dan apa yang diharapkan, lalu… timbullah kekecewaan, depresi dan beragam penyakit yang belum pernah muncul dalam sejarah umat manusia sebelumnya.
Diantara hak-hak manusia yang hilang akibat peradaban modern materialistis ini adalah hak-hak tetangga. Padahal tetangga memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat jahiliyah dulu dan masyarakat islam, baik secara syari’at, akal, adat dan keagamaan.
Islam agama yang tinggi dan paripurna telah mengatur dan menetapkan hak tetangga dalam ajaran yang demikian rinci dan jelasnya. Tinggal kita mempelajari dan mengamalkannya…, setelah itu akan kita tuai (panen) hasil baiknya dalam kemasyarakatan dan bernegara.
Definisi, Batasan dan Hakikat Tetangga
Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ .”.
Sedang secara istilah syar’i bermakna orang yang bersebelahan baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Ibnu hajar Al Asqalany menyatakan: “Nama tetangga meliputi semua orang islam dan kafir, ahli ibadah dan fasiq, teman dan lawan, warga asing dan pribumi, orang yang bermanfaat dan merugikan, kerabat dan bukan kerabat dan berdekatan rumahnya atau jauh. Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya.” (Lihat fathul bari 10/442)
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Sehingga diberikan hak tetangga tersebut sesuai dengan keadaan dan hak mereka.
Batasan Tetangga
Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat mereka adalah:
Batasan tetangga yang mu’tabar adalah:
Empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah , Azzuhriy dan Al Auzaa’iy.[2] (Lihat fathul bari 10/442)
Sepuluh rumah dari semua arah.
Orang yang mendengar adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja.
Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid.
Tetangga adalah orang yang sekota, ini pendapat sebagian ulama berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
لَّئِن لَّمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لاَيُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,” (QS. Al Ahzab:60).
Akan tetapi yang rajih insya Allah, batasannya kembali kepada adat yang berlaku. Apa yang menurut adat tetangga adalah tetangga. Wallahu a’lam.
Dengan demikian jelaslah tetangga rumah adalah bentuk yang paling jelas dari hakikat tetangga, akan tetapi pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada hal itu saja bahkan lebih luas lagi. Karena dianggap tetangga juga tetangga di pertokoan, pasar, lahan pertanian, tempat belajar dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ketetanggaan.
Hakekat Tetangga
Islam telah berwasiat untuk memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak tetangga dengan ibadah dan tauhid-Nya serta berbakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (Annisaa’:36)
Imam Al Qurthuby rahimahullahu menyampaikan tafsir ayat ini dalam pernyataan beliau: “Sungguh Allah telah memerintahkan kita menjaga tetangga dan menunaikan haknya. Mewasiatkan untuk menjaganya dalam Al Quran dan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah kamu lihat Allah Ta’ala menegaskannya setelah hak kedua orang tua dan kerabat dalam firman-Nya: وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى yaitu kerabat, dan وَالْجَارِ الْجُنُبِ yaitu orang asing (bukan kerabat). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas”. (Al Jami’ Li Ahkaamil Qur’an 5/183)
Demikian pula hadits-hadits Nabi telah menjelaskan kewajiban menjaga hak tetangga dan menjaga kehormatan dan kemuliannya dan perintah menutupi aib mereka.
Hal ini menunjukkan wasiat dengan tetangga tersebut meliputi penjagaan, berbuat baik kepadanya, tidak berbuat jahat dan mengganggunya, selalu bertanya tentang keadaannya dan memberikan kebaikan kepadanya. Ini semua adalah bentuk perhatian dan motivasi syariat dalam menjaga dan menunaikan hak-hak mereka.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
Dosa apa yang terbesar disisi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ”Menjadikan tandingan untuk Allah, padahal Allah yang menciptakanmu”. Saya (Ibnu Mas’ud) bertanya: “kemudian apa?” beliau menjawab: “kemudian membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “kemudian apa?” beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu”. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari No: 4389, 6354 dan 6978, Muslim No:125)
Tidak cukup hanya disitu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan Abu Dzar untuk memperbanyak kuah masakannya agar dapat dibagi dan dirasakan tetangga, seperti dalam hadits :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ إِنَّ خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ
Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu beliau berkata: “kekasihku Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepadaku, ”jika kamu memasak kuah daging maka perbanyak kuahnya kemudian lihat keluarga tetanggamu dan berikanlah sebagian kepada mereka dengan baik”. (HR. Muslim)
Demikian besarnya hak dan kedudukan tetangga dalam islam. Selainnya dari peraturan akhlak dan undang-undang manusia tidak mengenal hal tersebut. Bahkan undang-undang dan peraturan manusia sangat meremehkan kesucian dan kehormatan tetangga. Sedangkan Islam telah memupuk akhlak kemanusiaan ini kepada kita, ketika membeberkan sekian banyak nash-nash yang suci dalam penjagaan hak-hak tetangga.
Hukum yang Terkait dengan Tetangga
Tetangga memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh tetangganya yang lain. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat sehingga hampir menjadikan tetangganya sebagai ahli warisnya.
Oleh karena itu, barang siapa yang butuh kepada tetangganya, seperti butuh mengalirkan air yang melewati tanahnya atau jalan miliknya, dan sebagainya, maka tetangganya harus memenuhi kebutuhannya, baik dengan bayaran maupun tidak.
Dan tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengadakan pada area miliknya sesuatu yang mengganggu tetangganya, seperti membuka jendela yang memanjang ke rumah tetangganya, atau pabrik yang mengganggu tetangganya karena suara kerasnya dan sebagainya.
Jika antara keduanya ada dinding yang disekutui (dimiliki bersama), maka ia tidak bertindak dan meletakkan kayu di atasnya kecuali jika darurat, seperti butuh kepadanya untuk membuat atap, maka tetangganya yang lain tidak boleh menghalanginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِه
“Janganlah seorang tetangga menghalangi tetangganya yang lain menancapkan kayu (untuk atap rumahnya) di dindingnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum-hukum Seputar Jalan
Tidak boleh mempersempit jalan kaum muslim, bahkan harus melapangkan jalan dan menyingkirkan hal yang mengganggu darinya. Bahkan yang demikian termasuk bagian keimanan.
Tidak boleh mengadakan pada area miliknya sesuatu yang menyempitkan jalan.
Tidak boleh menjadikan sebuah tempat pemberhentian untuk hewan atau kendaraannya di jalan yang dipakai orang lewat, karena yang demikian dapat membuat jalan menjadi sempit dan menyebabkan kecelakaan.
Jalan adalah hak bersama, oleh karena itu harus menjaganya dari semua yang mengganggu orang yang lewat, seperti membuang sampah di jalan dan semisalnya, karena menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan termasuk cabang keimanan.
Tidak diperbolehkan mengadakan pada miliknya sesuatu yang mempersempit jalan. Misalnya membangun atap di atas jalan yang membuat para pengendara susah lewat atau membuat tempat duduk di jalan.
Di jalan umum juga dilarang menanam, membuat bangunan, membuat galian, menaruh kayu, menyembelih binatang, membuang sampah dan menaruh sesuatu yang berhaya bagi orang yang lewat.
Bagi pihak berwenang juga harus mengatur kota dan mencegah hal-hal yang mengganggu jalan, menghukum orang yang menyalahi aturan agar berhenti dari perbuatannya itu.
Banyak orang meremehkan masalah ini, padahal penting. Sehingga kita lihat banyak orang yang membatasi jalan umum untuk kepentingan pribadi, dipakai untuk menaruh kendaraan, menaruh batu-batu, besi dan semen untuk bangunannya dan lain sebagainya.
Sedangkan yang lain ada yang membuang kotoran berupa sampah, barang najis maupun sisa-sisa di pasar-pasar, tidak peduli akan bahayanya bagi kaum muslim. Hal ini adalah dilarang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzaab: 58)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Orang muslim adalah orang yang dapat menjaga lisan dan tangannya dari mengganggu muslim yang lain.” (HR. Bukhari)
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan Laailaahaillallah, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan hadits-hadits lainnya yang mendorong menghormati hak kaum muslim dan tidak mengganggu mereka. Termasuk mengganggu mereka adalah mempersempit jalan kaum muslimin dan meletakkan rintangan-rintangan di sana.
Wallahu Ta’ala ‘alam…
Post a Comment